Sumsel  

Hak Asasi Manusia & Perbudakan Modern di Laut

Tanggal 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Bicara tentang HAM, apakah kamu tahu jika di era modern seperti sekarang masih terjadi praktik perbudakan?

 

Lebih memprihatinkan lagi, perbudakan ini terjadi jauh dari pandangan semua orang sehingga tak begitu banyak yang peduli, yakni di laut. Korbannya adalah para anak buah kapal (ABK) asal Indonesia dan sejumlah negara berkembang lainnya yang bekerja di kapal ikan berbendera asing.

 

Berdasarkan catatan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), sejak September 2014 hingga Juli 2020 terdapat 338 aduan terkait kerja paksa di laut yang dialami ABK Indonesia di kapal ikan asing. Pada 2020, jumlah aduan yang masuk sebanyak 104, meningkat dibanding tahun 2019 sebanyak 86 aduan. Di luar kasus-kasus yang diadukan tersebut, tentu banyak pula kasus yang belum terungkap dan masih berlangsung hingga saat kamu membaca tulisan ini.

 

 

Perampasan hak yang dialami para ABK terjadi di sepanjang tahapan kerja. Mulai dari proses perekrutan yang kerap mengarah pada praktik tindak pidana perdagangan orang, perlakuan pemberi kerja di atas kapal yang penuh kekerasan bahkan hingga menyebabkan kematian, hingga proses pemberian hak atas upah dan pemulangan ke Tanah Air yang penuh liku.

 

Praktik perbudakan yang terjadi memenuhi seluruh indikator kerja paksa dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), di antaranya penipuan, isolasi atau pembatasan ruang gerak, penahanan upah dan dokumen, lingkungan kerja yang penuh kekerasan fisik dan verbal, serta waktu kerja berlebihan.

 

Di tahap perekrutan, para calon ABK diiming-imingi gaji tinggi, banyak dokumen pribadi mereka yang ditahan sebagai jaminan, dan mereka diminta membayar sejumlah uang agar bisa cepat diberangkatkan. Pada saat bekerja di kapal, tidak hanya mereka banting tulang belasan jam sehari tak peduli panas dan badai, mereka juga harus bertahan hidup dengan makan seadanya dan minum air sulingan air laut.

 

Proses pemulangan pun sering terjadi dengan tidak manusiawi; ada yang tidak menerima upah sama sekali, ada yang ditelantarkan di negara asing dan hanya dibekali beberapa dolar Amerika Serikat untuk “ongkos” pulang, ada pula yang pulang ke kampung halaman dalam wujud jenazah karena tak kuasa didera siksaan selama bekerja.

 

Bulan lalu, Mongabay menerbitkan laporan investigasi berjudul “Kerja Sampai Mati: Siksaan terhadap ABK Indonesia di Kapal Tuna Tiongkok” yang bercerita dengan detail dari hulu ke hilir badai kehidupan yang dialami sejumlah ABK Indonesia.

 

Ada juga seorang mantan ABK yang membagi kisahnya pada Project Multatuli dan dimuat dalam sebuah artikel di bawah kolaborasi dengan Greenpeace Indonesia berjudul “Bak Mengkaveling Makam di Laut Lepas: Kisah ABK Korban Perbudakan di Kapal Lu Qing Yuan Yu”.

Greenpeace yakin kamu peduli dan ingin mendukung perlindungan hak ABK yang lebih baik!

 

Untuk membahas perbudakan ABK Indonesia dari perspektif HAM, Greenpeace Indonesia berkolaborasi dengan SBMI dan Human Rights Working Group (HRWG) mengadakan sebuah diskusi publik daring yang bisa kamu tonton di sini.

 

Jika kamu ingin pelajari lebih jauh apa saja yang terjadi pada saudara-saudara ABK kita di kapal ikan, simak obrolan Greenpeace Indonesia dengan seorang mantan ABK yang pernah menjadi korban perbudakan dalam #PodcastNgobrolLingkungan di Spotify berjudul “Kok Bisa Laut Kita Dibantai Sistematis oleh IUU Fishing?” dan “Perbudakan Modern ABK Asal Indonesia”.

 

Mari bersama-sama kita desak pemerintah bersikap lebih tegas untuk melindungi hak asasi para ABK yang bekerja jauh di laut lepas.[***]

 

Salam hijau damai,
Greenpeace Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *