Manajemen Talenta Riset & Inovasi Cetak Periset & Technopreneur Unggul

Pingintau.id, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam menjalankan tugas dan fungsinya di bidang riset dan inovasi, memiliki target jangka pendek, menengah, dan panjang. Kepala BRIN Laksono Tri Handoko menjelaskan target jangka pendek, BRIN berupaya langsung menyelesaikan problem pangan dan energi.

“Target kita untuk jangka menengah, sebagai awal, kita melibatkan sebanyak mungkin partisipasi periset di luar BRIN ke dalam aktivitas riset, dan tentu dengan fasilitasi yang ada. Nanti mereka bisa mandiri, memiliki Research and development (R n D) sendiri. Mereka sudah masuk ke aktivitas riset, dalam proses pengembangan produk mereka,” beber Handoko saat diwawancara medcom.id melalui zoom meeting, Kamis (11/08).

Sedangkan, untuk target jangka panjang, BRIN bisa meningkatkan jumlah periset, aktivitas riset, dan lembaga riset di luar pemerintah di Indonesia. “Ini yang menjadi indikator kinerja kami,” tambahnya.

Sehubungan dengan SDM yang akan mengembangkan riset dan inovasi, lebih lanjut Handoko menjelaskan, bahwa BRIN menjadi penanggung jawab manajemen talenta nasional bidang riset dan inovasi. Manajemen talenta riset dan inovasi, tidak hanya untuk mencetak periset unggul.

“Memang program manajemen talenta riset dan inovasi itu, kita buat untuk mencetak periset masa depan Indonesia sebagai SDM unggul. Dalam prosesnya, sebenarnya kami membuka opsi kedua, yaitu untuk menjadi teknopreneur. BRIN memfasilitasi semuanya, khususnya di kawasan-kawasan riset kita, disediakan fasilitasi untuk tenant, pendampingan untuk periset kami juga, yang ingin menjadi teknopreneur,” terangnya.

Pada proses program talenta riset dan inovasi, mulai dari mahasiswa S1 tingkat akhir, S2, dan S3, semuanya berbasis riset, sampai menjadi periset. Dalam proses itu juga, BRIN memberikan opsi, karena ada kemungkinan mereka berubah pikiran atau berubah passion, untuk menjadi teknopreneur.

“Riset dan inovasi dengan enterpreneurship itu, sesuatu yang berjalan beriringan. Kalau tidak ada enterpreneur, riset dan inovasi akan mandek. Begitu pun sebaliknya, enterpreneur tanpa riset dan inovasi, akan kesulitan membuat deferensiasi dari produknya,” terang Handoko.

Di sisi lain, dia menyebutkan pada beberapa aspek, ada sisi memang SDM di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Maka dari itu, BRIN melakukan percepatan program talenta, untuk riset dan inovasi, khususnya yang terkait dengan pemanfaatan biodiversitas. “Bukan lagi sekedar ekspedisi mengumpulkan, mengidentifikasi, tetapi bagaimana kita bisa memanfaatkan hal itu. Bagaimana kita memanfaatkan mikroba untuk menjadi kandidat obat kanker, kateter, itu sangat high tech,” sebutnya.

Ia mengatakan, hal itu membutuhkan jam terbang, dan kompetensi periset yang tinggi. Untungnya Indonesia mempunyai modal lokal, dan salah satu strateginya, BRIN berupaya meningkatkan kolaborasi, dengan mitra-mitra potensial di luar negeri. Hal ini karena tidak mungkin bisa menguasai teknologi tanpa adanya kolaborasi.

Selain itu, Handoko melihat masalah hilirisasi riset dan inovasi di Indonesia. Dengan kata lain, tidak berhenti pada risetnga, tapi dapat menghasilkan inovasi, yang bisa menyelesaikan masalah. “Itulah sebabnya, di BRIN kita memiliki 5 skema fasilitasi, untuk mempercepat inovasi dari riset itu, benar-benar menjadi produk. Ada skema pengujian, contoh produk inovasi kesehatan, seperti uji praklinis, uji klinis, dan sebagainya,” jelasnya.

Semua skema di BRIN itu dibuka untuk semuanya, tidak hanya untuk periset BRIN. Hal itu yang menjadi langkah konkrit BRIN untuk mendukung hilirisasi, termasuk periset di perguruan tinggi. “Riset dan proses sampai menjadi produk itu memang mahal, dan tingkat kegagalannya tinggi. Pakemnya sudah seperti itu, risiko itulah yang sebenarnya kita tanggung,” bebernya.

Tantangan di perguruan tinggi, ia menuturkan, sebenarnya sama saja. Handoko mengatakan BRIN tidak membedakan periset dari dalam atau luar BRIN, termasuk teman-teman kampus, dan periset di industri. Semua skema itu, dibuka untuk semuanya. “Bahkan periset BRIN pun harus berkompetisi, tidak serta merta mendapatkan fasilitas. Mereka juga berkolaborasi dengan teman-teman di kampus. Periset BRIN memiliki semua infrastrukturnya, itu yang tidak ada di kampus,” ucap Handoko.

Menurut Handoko, kampus memiliki kelebihan yang lain, semacam talent pool mereka yang memiliki SDM dinamis, karena mahasiswa berganti terus. Hal itu yang tidak dimiliki BRIN. Maka dari itu, BRIN membuka semua skema secara kompetitif dan terbuka untuk siapa saja, termasuk dari kampus. “Mereka bisa lebih kolaboratif, jadi itu yang membedakan. Kami juga membuka berbagai macam hibah riset, infrastruktur kami pun di buka, karena banyak kampus sangat tergantung pada infrastruktur yang ada di BRIN,” tutup Handoko.[***]