Pingintau.id, – Kalau biasanya tamu datang ngopi sambil bawa roti, kali ini beda. Yang datang justru jenderal-jenderal masa depan berseragam batik rombongan Sespimti Polri Dikreg ke-34 dipimpin Irjen Pol Tomex Korniawan. Mereka bukan mau demo, bukan juga nyari rumah makan pindang, tapi ingin belajar tentang Sumatera Selatan. Yang disambut siapa? Tentu saja duet HD-CU alias Herman Deru dan Cik Ujang, duet gubernur dan wakil yang baru 61 hari duduk tapi sudah sibuk kayak warung bubur di pagi Senin.
Kunjungan ini bukan cuma silaturahmi, tapi kayak study tour berseragam pangkat. Kalau anak SD ke museum bawa buku catatan, rombongan ini bawa pertanyaan tentang pembangunan, tambang, digitalisasi, sampai pajak kendaraan. Nggak main-main. Tapi jangan salah, suasananya tetap santai nggak ada yang kaku kayak penggaris kayu zaman Orba.
Di hadapan para tamu, Herman Deru jelaskan Sumsel ini provinsi terluas di Sumatera. Luasnya bukan main. Bayangkan saja, Kabupaten OKI sendirian setara dengan Timor Leste. Bukan cuma itu, setiap sungai besar di Sumsel ibarat silsilah keluarga kerajaan ada Komering, Enim, Lematang, dan Ogan. Sungai di sini bukan cuma buat nyuci karpet, tapi punya peran sejarah dan budaya yang gede.
Bayangkan kalau tiap sungai punya akun Instagram sendiri, pasti penuh foto warga lagi nangkap ikan sambil nyanyi lagu dangdut remix. Itu baru Sumsel. Belum lagi kalau semua kabupaten ngadain lomba dayung antar suku.
Deru juga bicara soal digitalisasi. Katanya, “Boleh saja kita digital, tapi jangan sampai regulasi ketinggalan kayak sandal sebelah di masjid.” Digitalisasi tanpa aturan kayak motor trail masuk jalan tol bisa ngebut tapi bahaya. Makanya, dia bilang penting banget buat ngejar literasi digital masyarakat.
Kalau daerah lain udah pakai e-Government, e-Budgeting, atau e-Planning, Sumsel juga mulai meraba-raba ke sana. Tapi caranya khas Sumsel santai, tapi kena. Nggak buru-buru kayak masak mie instan, tapi dipikirin kayak masak pindang patin pakai tempoyak.
Isu tambang dan minerba juga disinggung. Deru nggak mau Sumsel cuma jadi tukang gali, tapi nggak menikmati hasil galiannya. “Kita ini ibarat orang punya kebun sawit, tapi tiap hari makan mi instan,” katanya. Makanya, dia dorong peran pemerintah daerah dan Forkopimda untuk lebih strategis. Jangan cuma hadir waktu acara potong pita, tapi juga waktu ambil keputusan penting.
Dan soal pangan, dia tegas bilang stop impor! Kalau bisa, daerah lain belajar dari Sumsel yang tetap beras ada, sayur melimpah, dan lele di kolam rame kayak arisan RT.
Kalau mau nyontek yang baik-baik, Sumsel bisa ngelirik Jawa Barat yang digitalisasi pelayanan publiknya udah kayak aplikasi e-commerce tinggal klik, urusan kelar. Atau Estonia negara kecil di Eropa sana yang nyaris semua urusan pemerintahannya bisa diselesaikan online. Tapi ingat, itu bisa jalan karena rakyatnya melek digital dan pemerintahnya nggak gaptek.
Nah, Sumsel bisa jadi Estonia-nya Indonesia bagian selatan asal jangan lupa, sinyal 4G belum merata. Jangan sampai diskusi digitalisasi berlangsung di ruangan ber-AC, tapi warga di desa ngetik WA masih pakai jempol tangan kiri sambil ngusir nyamuk pakai kipas pandan.
Kunjungan PKDN ini kayak gerimis manis di tengah kemarau panjang sejuk, menyegarkan, dan bikin harapan mekar. Bahwa masa depan Sumsel bisa cerah asal semua pihak, dari gubernur sampai Forkopimda, dari Sespimti sampai warga, bisa kerja bareng. Kayak ngerakit lemari IKEA butuh banyak tangan, dan kadang baca petunjuk dulu biar nggak salah pasang.
Jadi kalau besok para siswa Sespimti ini naik pangkat, jadi Kapolda, jadi Kepala BIN, atau jadi jenderal bintang tiga, semoga mereka ingat satu hal bahwa mereka pernah belajar soal Sumsel dan pernah minum kopi sambil bahas digitalisasi di ruang rapat yang hangat tapi penuh tantangan.Dan Sumsel? Tetap jalan. Pelan tapi pasti. Kadang sambil ngelawak, tapi tujuannya jelas membangun tanpa kehilangan jati diri.[***]