Pingintau.id, Jakarta – Kepala Organisasi Riset (OR) Arkeologi Bahasa dan Sastra (Arbastra), Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Herry Yogaswara, menyatakan, kearifan lokal sejak lama menjadi daya tarik dan perbincangan berbagai kalangan di Indonesia. Namun, para peneliti mesti tetap memberikan catatan kritis tentang kearifan lokal tersebut.
Hal tersebut dikatakan Herry Yogaswara, sebelum membuka sesi Bincang Webinar ke-5, yang digelar Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PR-KKP), via zoom meeting, Kamis, (18/08). Webinar kali ini mengangkat tema soal Kearifan Lokal dan Toleransi.
Herry Yogaswara melanjutkan, kearifan lokal saat ini telah mengalami perubahan makna. Masuknya beragam kebudayaan dalam komunitas tertentu, ikut menjadi penyebab makna kearifan lokal menjadi kehilangan keasliannya. Alhasil, apa yang misalnya disebut arif oleh orang lain, belum tentu dipandang arif bagi yang lainnya.
“Misalnya, apa yang menurut saya arif, belum tentu arif menurut pandangan orang lain. Itu sebabnya, kita tidak bisa lagi hanya menerima kearifan lokal sebagai suatu konsep jadi. Karena itu, saya pun selalu mengkritisi istilah pengetahuan lokal atau pengetahuan asli, karena keduanya lebih mementingkan sisi indigenous-nya atau keasliannnya,” katanya.
“Padahal, indigenous sendiri, mungkin, makin lama makin susah. Ini disebabkan oleh kebudayaan satu ke kebudayaan lain saling bertubrukan, sehingga apa yang disebut indigenous perlu juga dikritisi. Minimal, kita pertanyakan ulang,” tambah Herry.
Dalam riset-riset antropologi, kata dia, terdapat terminologi menyangkut kearifan lokal, seperti pengetahuan lokal (local knowledge), pengetahuan asli (indigenous knowledge), dan kearifan lokal itu sendiri. “Saya pribadi, paling jarang menggunakan istilah kearifan lokal,” ujarnya.
Terkait toleransi, yang juga menjadi tema Webinar PR-KKP kali ini, Herry Yogaswara menyatakan, toleransi yang terjadi di berbagai tempat sekarang ini di Indonesia telah mengalami pergeseran makna, bila dibandingkan dengan toleransi di masa lalu.
“Kalau kita bandingkan dengan kondisi toleransi, katakanlah, sekitar 20 tahun lalu di daerah tertentu di Indonesia, maka toleransi yang kita maknai sekarang ini tentu sudah berbeda dengan kondisi kekinian,” katanya.
Sebelum membuka diskusi webinar, Herry Yogaswara kemudian mengajak para Peneliti BRIN yang konsen mengkaji tema-tema kearifan lokal dan toleransi, untuk tidak terjebak dengan romantisime kearifan lokal dan toleransi.
“Jadi, saya ingin para peneliti membaca dan kemudian mengkritisi juga kearifan lokal dan toleransi. Jangan sampai ada romantisme, yang pendekatannya apa yang ada di benak kita, ternyata tidak kita temukan di lapangan. Di sinilah, tantangan para peneliti ketika akan menggunakan istilah kearifan lokal dan toleransi. Ke depan, riset-riset seperti inilah yang akan kita munculkan,” katanya.
Sementara itu, Peneliti PR KKP, Subair, menyampaikan kearifan lokal dan toleransi pada suku Moronene, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, menyebutkan, perjumpaan orang Bugis dan Moronene telah terjadi sejak masa silam.
Menariknya, kata dia, perjumpaan dua etnis tersebut terkadang malah menghadirkan dilema tersendiri.
“Di satu sisi, orang Bugis dapat melindungi Moronene dari serangan bajak laut. Tetapi, pada sisi lain, kedua etnis ini pun terkadang bentrok, cekcok, dan kerap kali berperang,” kata Subair.
Untuk merekatkan relasi antar kedua etnis tersebut di masa kini, generasi sekarang kemudian merujuk dan mencoba melestarikan kearifan lokal yang pernah dialami oleh para orang-orang tua dulu. Di antaranya, dengan menggelar peristiwa Tanduale dan tradisi Kohala.
Peneliti dari PR Agama dan Kepercayaan, Sabara, menyampaikan mengangkat Konsep dan Praktik Toleransi dalam Bingkai Kearifan Lokal di Kei. Ia mengemukakan, pendekatan kearifan lokal secara optimal dapat menjadi formula penting dalam merekatkan relasi antar berbagai kelompok sosial di masyarakat, termasuk kelompok antaragama di Kei.
“Hukum adat dan kearifan lokal Kei, seperti filosofi Ain ni Ain, hukum adat Larvul Ngabal, Fanganan, Yelim, dan Maren, telah terbukti efektif mengatasi persoalan sosial terkait perbedaan agama, utamanya ketika pecah konflik agama pada 1999-2000,” ujar Sabara.
Selain itu, Peneliti dari PR KKP, I Wayan Rupa, menyampaikan soal Praktik Peribadatan: Perspeketif Multikulturalisme di Bali. Ia menjelaskan, telah terjadi pemanfaatan tempat suci dalam praktik peribadatan di Bali, yakni satu pemujaan untuk dua umat berbeda.
“Hal ini tampak pada beberapa pura, seperti di Pura Langgar atau disebut Pura Dalem Jawa, Pura Candi Mas, Pura Ulun Danu Batur, Pura Makam Keramat (makam Raden Ayu Pemecutan). Umat Islam dan Hindu telah sama-sama memanfaatkan tempat suci ini. selain itu, toleransi antara umat Hindu, Buddha, dan Khonghucu, juga terjadi di beberapa tempat peribadatan di Bali,” kata Wayan Rupa.
Sementara itu, Kepala PR-KKP, Wuri Handoko, sebelum menutup webinar, menyatakan, kearifan lokal dan toleransi tetap menjadi isu menarik dan aktual untuk dikaji, hingga saat ini.
“Meski kita akui belakangan ini ada semacam polarisasi yang cukup kental di masyarakat, seperti pembelahan-pembelahan sosial yang isu-isunya tidak lari jauh dari isu agama, politik, dan budaya. Saya kira, tiga isu ini memiliki nilai-nilaiobjektivikasi universal, yaitu tentang kearifan lokal dan toleransi,” kata Wuri Handoko.
Menurut Wuri Handoko, kearifan lokal menjadi titik temu toleransi. Toleransi sebenarnya ruh peradaban kenusantaraan yang lahir dan tumbuh dalam peradaban nusantara, yang tanpa disadari, direkayasa, atau pun direproduksi, kearifan-kearifan lokal tersebut sudah ada di masyarakat.
“Istilah senasib sepenanggungan dan filosofi bhineka tunggal ika lahir dari nilai-nilai leluhur, yang dengan sendirinya ada dalam ruh peradaban kenusantaraan,” katanya.
Yang paling penting sekarang, kata Wuri Handoko, adalah bagaimana mengartikulasikan dan mengaktualisasikan itu semua dalam perbincangan-perbincangan berbagai riset, dan kemudian membangun narasi bersama tentang kearifan lokal dan toleransi.
“Kita bisa menerjemahkan toleransi secara sederhana, bahwa toleransi adalah pengakuan terhadap perbedaan. Toleransi tidak hanya menjadi sebuah norma atau tertib sosial yang dibangun secara regulatif, tetapi ia sebenarnya lahir dari nilai-nilai tradisi yang hidup di dalam khazanah kita,” kata Wuri Handoko.[***]