Pingintau.id – Situs Warungboto di Umbulharjo, Yogyakarta, pernah tenar sebagai lokasi pesanggrahan atau tempat istirahat dan pemandian sultan serta keluarganya berabad silam. Namun kini, tempat itu telah kembali dibuka sebagai objek wisata dengan daya tarik berbeda.
Memang Yogyakarta tidak hanya dikenal sebagai Kota Pelajar atau Kota Gudeg. Daerah yang diperintah pertama kali oleh Pangeran Mangkubumi selaku Sultan Hamengkubuwono I, sekaligus pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, juga memiliki rentetan perjalanan sejarah yang panjang. Termasuk hadirnya warisan-warisan budaya yang ditinggalkan serta di kemudian hari banyak menjadi cagar budaya. Salah satu di antaranya adalah Pesanggrahan Rejawinangun atau lebih dikenal sebagai Situs Warungboto.
Pesanggrahan atau tempat beristirahat para sultan dan keluarganya tersebut berlokasi di tepi jalan raya yang ramai, yaitu Jl Veteran nomor 77, Kelurahan Warungboto, Kecamatan Umbulharjo, atau 6,5 kilometer dari pusat kota. Patokannya hanya beberapa ratus meter dari lokasi sebuah pabrik susu ternama di Yogyakarta, serta tak jauh dari Kebun Binatang Gembira Loka. Dari jalan raya ini, bagian muka bangunan pesanggrahan itu terlihat biasa saja. Hanya terdapat pelang nama Situs Warungboto.
Padahal tempat ini dulunya merupakan lokasi favorit beristirahat penguasa Yogyakarta waktu lalu. Tempat ini dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono II ketika dirinya masih menjadi putra mahkota pada periode 1765-1792. Demikian dikatakan Indonesianis asal Inggris, Peter Carey, dalam The Archive of Yogyakarta yang ditulis pada 1980. Menurut buku itu, perjalanan pengacara asal Utrecht, Belanda, Johan Frederik Walvaren van Nes ke Yogyakarta November-Desember 1830 menjadi latar belakang pengungkapan tahun dibangunnya tempat tersebut.
Dituliskan di situ, pesanggrahan di Warungboto dibangun oleh Gusti Raden Mas Sundoro pada tahun 1785. GRM Sundoro merupakan nama remaja dari Sultan Hamengkubuwono II. Sedangkan dalam Babad Momana, seperti dikutip dari laman situs Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi, disebutkan bahwa Pesanggrahan Warungboto dibuat pada 1711 tahun Jawa.
Sebenarnya pembangunan tempat istirahat yang dilengkapi dengan kolam pemandian tidak hanya dilakukan di daerah yang sekarang ini berbatasan antara Kelurahan Rejawinangun dan Kelurahan Warungboto. Setidaknya dari Serat Rerenggan diketahui bahwa ia telah membangun 13 pesanggrahan, termasuk di Purwareja, Pelem Sewu, dan Rejakusuma. Sebagian dibangun ketika ia masih menjadi putra mahkota.
Lantaran banyaknya pesanggrahan yang dibangun, Sultan Hamengkubuwono II dijuluki Sultan Pembangunan Pesanggrahan. Sebetulnya tren membangun tempat istirahat bagi keluarga kesultanan sudah dimulai sejak era Sultan Hamengkubuwono I, namun jumlahnya tak sebanyak anaknya.
Sang ayah tercatat membangunnya, antara lain, Pesanggrahan Ambarketawang, Tamansari, dan Krapyak. Pesanggrahan juga sempat dibangun Sultan Hamengkubuwono I di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Fungsi utamanya berkaitan dengan ketenangan dan kenyamanan untuk tempat peristirahatan. Maka pada umumnya pesanggrahan dilengkapi dengan taman, segaran, kolam, kebun. Ada juga fasilitas religius seperti musala atau masjid yang dapat dimanfaatkan tidak hanya oleh keluarga kesultanan, namun juga untuk para abdi dalem dan masyarakat sekitar.
Pesanggrahan Warungboto dibangun di atas lahan seluas hampir 1 hektare dengan luas bangunan mencapai 3.344 meter persegi. Situs ini dibangun pada dua sisi, yaitu barat dan timur, menghadap Sungai Gajah Wong. Pesanggrahan di sisi barat merupakan kompleks bangunan berkamar dengan halaman berteras dan dua kolam pemandian.
Kolam pertama berbentuk lingkaran dengan diameter 4,5 meter dan di bagian tengahnya memiliki pancuran air atau umbul berkedalaman 0,5 meter serta memiliki mata air sangat jernih. Sedangkan, kolam kedua berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 10 meter dan lebar 4 meter dengan kedalamannya 0,75 meter.
Lokasi kedua kolam saling berdekatan hanya dipisahkan oleh tembok setinggi 0,5 meter, di mana sumber air untuk kolam kedua berasal dari kolam pertama yang modelnya sekilas seperti bak mandi jacuzzi. Batu bata menjadi unsur paling dominan sebagai bahan baku dinding dan pondasi untuk membentengi serta memperkokoh bangunan pesanggrahan. Pesanggrahan ini makin terlihat megah selain karena kekokohan dindingnya, juga struktur bangunan dengan lorong, pintu, dan jendela beraksen lengkung pada bagian atas sehingga makin menambah kesan eksotis.
Mulai Dipugar
Sebagai tempat peristirahatan, pesanggrahan ini juga pernah dikunjungi seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Surakarta, yaitu Jan Greeve pada 5-15 Agustus 1788. Inspeksi dan kunjungan terhadap sarana dan prasarana yang dapat difungsikan sebagai pertahanan tersebut dilakukan bersamaan ke benteng Baluwarti milik keraton.
Dari dokumentasi foto hitam-putih tahun 1935 hasil jepretan Oudheidkundige Dienst atau Layanan Arkeologi terlihat bahwa tempat itu sempat menjadi pemandian warga sekitar. Dalam foto tersebut terlihat bahwa sejumlah anak sedang bermain di sekitar kolam pemandian dengan beberapa lainnya menceburkan diri di kolam pertama. Tampak juga bahwa air kolam masih sangat jernih. Foto tersebut kemudian menjadi koleksi dokumentasi BPCB Yogyakarta.
Sejak era 1990-an, pesanggrahan itu mulai ditinggalkan karena mata airnya makin mengering hingga akhirnya benar-benar tidak lagi mengeluarkan air beberapa tahun setelahnya. Pesanggrahan itu kemudian makin tidak menarik untuk dikunjungi warga sekitar meski hanya sekadar untuk merendam kaki di kolam. Kesan kusam, kumuh, dan tak terawat, mulai muncul menggantikan kemegahan masa lalu dari pesanggrahan ini.
Lumut, dan tumbuhan semak hijau seperti saling berlomba menjadi penguasa baru pada setiap sudut bangunannya. Beberapa bagian bangunan pun tak kuat lagi menahan gempuran alam, membuatnya mulai rusak dan rontok. Termasuk juga akibat ulah tangan-tangan jahil pelaku vandalisme. Gempa tektonik di Sabtu pagi, 27 Mei 2006 berkekuatan 5,9 skala Richter selama hampir 1 menit turut memperparah kerusakan bangunan bersejarah ini.
Namun kondisi saat ini sudah jauh berbeda, setelah dilakukan perbaikan pada sisa bangunan yang ada. Pemugaran Situs Warungboto dilakukan dua kali oleh BPCB Yogyakarta. Pada 2009, dilakukan pemugaran di bagian pendapa. Pada 2015, dilakukan pemugaran kembali pada beberapa bagian. Pemugaran dilakukan untuk menyelamatkan Situs Warungboto berdasarkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Pada April 2016, pihak BPCB Yogyakarta dengan mengerahkan hampir 100 tukang bangunan kembali memperbaiki situs ini yaitu pada sektor bangunan tengah di mana terdapat kolam, serta bangunan sisi selatan termasuk pagar. Perlu waktu lumayan lama untuk memperbaikinya karena pekerjaannya cukup rumit dan tidak boleh ada kesalahan dalam pembangunannya. Harus mengikuti gambar aslinya agar terjaga orisinalitasnya.
Bangunan yang cukup parah dibongkar dan yang masih kokoh diperbaiki saja. Sebagai panduan, digunakan foto dan peta gambar rekonstruksi hasil pemetaan yang dilakukan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Yogyakarta pada 1982. Selain itu juga mengacu pada studi teknis terhadap Situs Warungboto yang telah dilakukan pada tahu 2007. Setelah beberapa kali rehabilitasi, ada perbedaan mencolok di mana bangunan asli Situs Warungboto warnanya lebih gelap atau hitam dan bangunan baru tampak lebih terang.[***]
Sumber : Indonesia.go.id