Pingintau.id, Sore seusai asar saat jarum menunjuk angka empat belas nol-nol, lima anak laki-laki berusia belasan tahun berkumpul di depan Blok C Perum Pesona Harapan Tahap I tepat di kursi beton diseberang jalan.
Kursi sepanjang tiga meter ini memang menjadi posko mereka, selain memang tempatnya rindang, juga dibelakang kusri masih banyak tumbuh rumput liar dan pohon besar dari jeni sawit, rotan, akasia, dan karet membuat hawanya terasa sejuk, Apalagi angin sepoi-sepoi membuat dahan dan ranting pohon, serta dedaunan bergoyang menyertai suasana anak-anak itu asyik bermain.
Hari minggu menjadi kesempatan mereka untuk berkumpul bersama teman-temannya, meskipun menurut ramalan cuaca di Stasiun Klimatologi, BMKG Sumatera Selatan, suhu dilangit Kota Palembang mencapai 32 derajat celcius, bahkan terasa panasnya mencapai tiga puluh tujuh derajat celcius, [ wah..terasa menyengat memang dikulit]. Namun tak menjadi penghalang mereka bermain.
Aktivitas ini kerap terlihat setiap hari saat mereka libur sekolah dan usai pulang dari sekolah, ada saja yang mereka lakukan, seperti ada yang asyik main sepeda mengitari jalan per blok di Perum Pesona Harapan, ada lagi anak-anaknya asyik bermain sepak bola plastik di jalan blok. Selain itu, ada yang bermain bulutangkis, kelereng, layang-layang, ada juga terlihat membawa stik pancing untuk memancing ikan berjenis gabus, betok, spat di aliran anak Sungai Putat sepanjang pipa gas milik Pertagas di blok A.
Iqbal, Akbar, Pai, Zikri, Ivan, Dap asyik bermain gambaran. Gambaran merupakan salah satu permainan jadul [jaman dahulu], tetapi di era digital ini, masih laku dipermainkan anak-anak. Banyak warung-warung yang masih menjualnya, bahkan toko-toko online pun juga menjual gambaran.
Mainan ini ada yang menyebutkan dengan bahasa kerennya Ulo Mini, ada juga dinamai kartu wartet, ntah apa lagi, saya juga tak mengerti, yang saya tahu saat usia saya masih belasan tahun, mengenalnya dengan sebutan gambaran.
Seingat saya, jika membelinya warung-warung, dijual perlembar dengan ukuran 30 x30 centi meter, dan tinggal digunting. Jumlah jika digunting bisa 20 lebih gambaran.
Gambaran bisa berbentuk komik, menceritakan kisah secara berurutan [cerita bergambar], temanya juga beragam, bisa tentang pahlawan nasional yang tengah berperang merebut kemerdekaan, ada juga tentang tokoh-tokoh kartun, seperti Donald Bebek, Unyil, tokoh Superhero, seperti Batman, Superman dan lainnya yang bikin anak-anak tertarik untuk membelinya.
Setiap potongan gambar itu ada nomor urutnya dari 1 hingga 20, dan naskah cerita. Nah, seingat saya juga nomor itu biasanya digunakan untuk permainan, seperti kartu remi dan domino. Bisa dimainkan lebih dari dua orang. Dalam permainan itu, siapa yang mendapat nilai besar itulah yang menang, dan yang kalah akan membayar dengan gambaran, jumlahnya sesuai disepakatin. Misalnya yang mendapat angka besar dari bandar, si bandar akan membayarnya.
Ragam satu lagi permainan dari gambaran tersebut, main tepukan, yakni gambaran ditaruk di lima jari tangan dengan posisi ada gambarnya dan dilakukan berdua antara pemain yang satu dan kedua, mereka antara tangan mereka ditepukan seperti kita bertepuk tangan, terus dilepas, selanjut gambar akan jatuh ke lantai. Posisi gambarnya hidup atau terlihat gambarnya, si pemain akan menang, yang posisi gambarnya dilantai tertutup akan kalah.
Yang kalah akan membayar berapa lembar gambaran sesuai kesepakatan mereka berdua. Nah, ada lagi bentuk permainan dari media gambaran tersebut, yakni permainan “ambulan”, istilah itu saya kenal saat usia belasan sekitar tahun 82-85.
Permainan itu bisa dilakukan lebih dari dua orang, caranya, gambaran dilempar ke atas, setiap orang yang main tersebut memiliki gambar andalan. Lalu dengan gambaran yang jadi andalan setiap anak tersebut dilemparkan bersama ke atas. Gambaran andalan itu disebut istlahnya ‘Oncak’ [bahasa Palembangnya]
“Oncak-oncak itu dilemparkan dan turun melayang-layang sampai ke tanah, ‘oncak’ yang mendarat dilantai dengan posisi ada gambarnya, itulah yang menang, sebaliknya yang kalah gambarnya tertutup, ‘oncak’ terus akan diadu lagi, jika peserta yang mainnya lebih dari dua orang sampai peserta yang bermain kalah semua. Mereka semua harus membaya kepada satu orang yang menang.
“Oncak”
Gambaran ini pun biasanya bisa dijual lagi kepada anak-anak yang membutuhkan, seikat berisi lebih dari sepuluh lembar dijual dengan sesuai kesepakatan. Meski kondisi gambaran itu tidak bersih lagi, kusam dibanding membeli dari warung, tetapi biasanya anak-anak masih membelinya, keuntungannya, memang harganya lebih murah dibanding yang baru dibeli ditoko serta tak capek-capek untuk mengguntingnya.
“Mano “oncak” kau, siapo yang nak melok main ambulan?,”kata Iqbal saat menawarkan main kepada teman sebayanya, Zikri, Rafa, Fai, Deni, Akbar, dan Evan.
“Kami melok,”kata mereka ber enam dengan suara yang keras, “siapa takot !!,” cetus Deni.
“Payo aku yang nerbangke nyo oncak-oncak kamu,” jawab Iqbal saat saya yang ada diteras rumah mengamati mereka.
Mereka terlihat semakin asyik, di sore menjelang petang yang kondisi langit terlihat masih cerah dan panas. Iqbal sebagai juru menerbangkan gambaran itu, dengan sekuat tenaga mengangkat tangan kanannya menggerakan ‘oncak-oncak’ itu yang dipegang dijemari tangan.
“Oncak milik anak-anak tersebut dilempar ke atas dan terlihat melayang-layang turun ke tanah, namun ada juga yang jatuh di atap teras rumah, serta ada ‘oncak’ itu jatuh di jalan, ada yang jatuh ke parit [selokan air] bahkan di semak belukar.
“Ai bal, makmano nian oncak aku nyampak di atas seng, Dak ketahu apo mati apo idak ?”, teriak Akbar !.
“Dah, kalau mak itu kito ulang baru lagi mainnyo,”jawab Iqbal.
Itulah, gambaran mereka sedang asyik bermain, mainanjadul, aku pun yang tengah duduk di kursi teras spontan bernostalgia mengingat masa lalu saat berumur belasan tahun, bermain gambaran persis mereka.
Meski di era digital, dan internet, handphone [hape] yang bisa digunakan untuk bermain game online, ternyata jenis permainan jadul masih menjadi favorit anak-anak diusianya di Perum Pesona Harapan, Kalidoni yang memang keberadaannya masih dinilaimarjinal jauh dari keramain, dan ‘hiruk-pikuk’, seperti tinggal di kota.
Itu memang untungnya, jenis permainan apapun yang ada di hape ternyata tidak menjadi pilihan utama mereka. Mereka masih mengutamakan untuk bermain berkumpul sembari bermain dengan media permainan jadul, seperti gambaran.
Saking asyiknya bermain gambaran itu, raut muka, dan tubuh mereka pun terlihat hitam karena tersengat matahari. Keringat yang keluar membasahi pakaian seolah-olah mereka “cuekin’. Bau badan, istilah orang Palembangnya ‘bau hari’ cukup orang lain yang merasakan, yang putih menjadi merah, ketika berlama -lama bermain akibat sengatan matahari.
“Yang penting kami biso main terus sampai puas, mumpung libur,” celoteh Zikri yang mendapat julukan “si bolang” oleh warga setempat.
Zikri memang anak yang jarang terlihat betah di rumah, dan punya watak menyeleneh.
Bahkan sebelum jam sembilan malam, suara Zikri masih terdengar bersama temannya, meskipun hanya sekedar ngobrol di bangku beton tersebut setelah pulang dari sholat isya’.
“Oi Zikri dan lainnyo balek lah, la malam, belajar, besok sekolah..!!,” teriak saya saat membuka pintu pagar hendak pergi ke warung yang ada di Blok B.
Zikri menjawab sembari tertawa meledek, “ Ai belum dipanggil om samo emak aku dan bapak aku !!,” katanya menutup cerita ini.[***]