Pingintau.id,- Hujan sejak tengah malam menyisakan rintik-rintikyang masih setia jatuh ke bumi di selasa pagi pekan ini. Suasana pagi buta membuat udara sangat dingin bahkan terus menyelinap di antara celah jendela rumah-ku yang sejak pukul 05.30 WIB sudah dibuka, kebiasaan ini terus aku lakukan sebagai sirkulasi.
Hujan rintik juga seolah membawa aroma tanah basah yang khas. Langit abu-abu menggantung rendah, seakan enggan memberi ruang bagi matahari untuk bersinar.
Jalanan tampak lengang, hanya sesekali terdengar deru kendaraan yang melaju pelan di atas aspal basah. Pepohonan di pinggir jalan menggigil dalam diam, dedaunan mereka masih menampung sisa-sisa hujan semalam.
Di sudut kota, warung kopi mulai dipenuhi orang-orang yang mencari kehangatan dari secangkir kopi atau teh panas, menikmati pagi yang syahdu dalam irama gerimis.
Di balik kaca jendela rumah di Perumahan, Perum Pesona Harapan Jaya, Jalan Azhari RT 50 Kalidoni Palembang, Sumatera Selatan terlihat sebagian warga memilih tetap berselimut, menunda rutinitas sejenak, menikmati pagi yang lebih lambat dari biasanya.
Namun sebagian warga ada pula yang telah berativitas mendatangi warung sayur untuk belanja, dan sebagian ada yang mengantar anak-anaknya sekolah.
Hujan memang kerap membawa ketenangan, membalut pagi dengan kesunyian yang menenangkan.
Seiring waktu berjalan, perlahan suasana pagi yang syahdu mulai berganti dengan hiruk-pikuk kota. Sejak pukul 06.00 pagi, jalanan mulai dipadati kendaraan. Motor dan mobil berlalu-lalang, saling mendahului dalam ritme kesibukan yang semakin meningkat.
Hujan rintik-rintik masih turun tipis, membasahi aspal yang sudah mulai dipenuhi jejak roda. Lampu kendaraan berpendar di antara gerimis, menciptakan pantulan cahaya di genangan air yang tersisa. Klakson sesekali terdengar, menandakan kesabaran yang mulai menipis di tengah arus lalu lintas yang kian padat.
Para orang tua sibuk mengantar anak-anak mereka ke sekolah. Beberapa terlihat tergesa-gesa, menembus kemacetan dengan harapan tak terlambat. Di perempatan jalan, petugas lalu lintas berdiri sigap, mengatur alur kendaraan yang terus berdatangan dari berbagai arah. Kota yang tadinya terlelap dalam ketenangan hujan kini kembali berdenyut dalam kesibukan rutinnya.
Meski demikian, di balik segala ketetapan Allah SWT, hujan di Selasa pagi ini tetap kuanggap menjadi berkah sendiri, karena rintik-rintiknya yang lembut menyuburkan tanah, menyegarkan udara, dan membawa ketenangan bagi siapa saja yang menikmati suasananya. Apalagi di Perum ku yang belum dialiri air bersih PDAM, dan hanya mengandalkan air sumur yang disaring seolah air hujan menjadi berkah karena air bersih seluruh warga menjadi berlimpah.
Rahmat yang menghidupkan
Hujan juga, bukan sekadar tetesan air dari langit, melainkan rahmat yang menghidupkan—membantu petani, menyejukkan bumi, dan mengingatkan manusia akan kebesaran Sang Pencipta.
Di tengah kesibukan pagi, ada kehangatan tersendiri yang terselip di balik hawa dingin. Beberapa orang menikmati secangkir kopi di teras rumah, menghirup aroma tanah basah yang khas. Di jalanan yang basah, anak-anak melangkah ceria menuju sekolah, sementara para pedagang mulai membuka lapak mereka dengan penuh harapan akan rezeki yang lancar.
Hujan Selasa pagi ini bukan hanya tentang udara yang dingin atau jalanan yang macet, tetapi juga tentang kehidupan yang terus berjalan, tentang berkah yang turun dari langit, dan tentang rasa syukur atas setiap tetesan yang membawa kehidupan.
Bahkan aku pun merasakan hal yang sama. Usai mengantar kedua anakku ke sekolah, aku memilih untuk menikmati pagi dengan cara sederhana—secangkir kopi panas yang mengepul di genggaman dan sebatang rokok yang perlahan terbakar di sela jemariku. Hawa dingin yang menusuk tak lagi terasa begitu tajam, tergantikan oleh kehangatan yang perlahan menyusup dari tiap tegukan dan embusan asap yang menguap ke udara.
Di teras rumah, aku duduk dalam diam, menikmati sisa-sisa gerimis yang masih jatuh dari langit. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi kopi, menciptakan perpaduan yang menenangkan. Suasana pagi ini begitu syahdu, seakan memberi ruang untuk merenung sejenak di tengah kesibukan yang tak pernah benar-benar berhenti.
Hujan di hari Selasa ini mungkin hanya bagian dari siklus alam, tetapi bagiku, ia membawa ketenangan—mengajakku berhenti sejenak, menikmati hidup dalam ritme yang lebih lambat, sebelum kembali tenggelam dalam arus rutinitas yang tak terelakkan.
Tak terasa, jarum jam sudah menunjuk angka 09.30 WIB. Waktu perlahan bergerak maju, tapi suasana masih tetap sama—langit tetap mendung, menggantung rendah tanpa tanda-tanda akan cerah. Rintik hujan masih setia turun, membasahi halaman dan genting rumah, menciptakan irama lembut yang menemani pagi yang berjalan lambat.
Di tiang-tiang atap teras rumah, burung-burung gereja bertengger, merapatkan tubuhnya seakan mencari perlindungan dari dinginnya rintik hujan. Sesekali mereka berceloteh, kicauan kecil yang mengisi kesunyian pagi. Mungkin mereka menunggu hujan reda, mungkin juga mereka hanya menikmati waktu, sama sepertiku yang masih duduk dengan secangkir kopi yang tinggal separuh.
Hujan yang turun sejak malam masih meninggalkan jejaknya, bukan hanya di jalanan yang basah atau dedaunan yang masih menampung butiran air, tetapi juga di dalam hati—membawa rasa tenang, sejenak memberi jeda sebelum kembali ke kesibukan hari.
Gulma dan rumput di depan rumahku terlihat basah, menyerap setiap tetes hujan yang masih turun perlahan dari langit kelabu. Warna hijau mereka tampak lebih segar, seakan mendapatkan kehidupan baru dari air yang membasahi tanah. Sementara itu, pohon karet di samping rumah tetap berdiri kokoh, akarnya yang kuat mencengkeram bumi, tak terpengaruh oleh angin yang bertiup pelan.
Tangkai daun-daunnya bergoyang, menari mengikuti irama angin yang datang sesekali. Gerakannya seakan ikut berbicara, menemani kicauan burung gereja yang semakin ramai bertengger di tiang-tiang atap. Suara mereka bercampur dengan suara rintik hujan yang masih setia turun, menciptakan harmoni alami yang memenuhi kediamanku dengan ketenangan.
Di pagi yang basah ini, semuanya terasa hidup. Alam berbicara dalam bahasa yang sederhana, mengingatkanku untuk menikmati setiap momen yang ada—sesederhana melihat daun bergoyang, mendengar burung bernyanyi, dan merasakan hawa sejuk yang dibawa hujan.
Di balik semua ini, ada hikmah yang bisa dipetik. Hujan yang turun sejak malam mungkin membawa dingin dan melambatkan langkah banyak orang, tapi ia juga membawa kehidupan—menyuburkan tanah, menyegarkan udara, dan memberikan ketenangan bagi mereka yang mau menikmatinya.
Setiap tetes hujan adalah pengingat bahwa segala sesuatu di dunia ini berjalan dalam keseimbangan. Ada saatnya langit menangis, sebagaimana ada waktunya ia bersinar cerah. Begitu juga dengan hidup—kadang datang kesulitan, kadang kebahagiaan menghampiri. Yang terpenting adalah bagaimana kita menerima setiap keadaan dengan syukur dan melihat sisi baiknya.
Pagi yang basah ini kicauan burung yang meramaikan suasana, hingga gemericik hujan yang membawa ketenangan. Semua ini adalah berkah, pengingat bahwa dalam kesederhanaan, ada keindahan yang sering kali terlewatkan.
Alunan lagu yang keluar dari speaker komputerku menambah warna di pagi yang masih basah ini. Suaranya mengalun lembut, berpadu dengan rintik hujan yang masih turun perlahan. Musik mengisi setiap sudut rumah, mengusir kesunyian yang tadi sempat hadir, membuat suasana terasa lebih hidup.
Di luar, burung gereja masih berceloteh di tiang atap, daun-daun pohon karet masih bergoyang ditiup angin. Sementara itu, di dalam rumah, alunan nada dan lirik lagu mengiringi pagi yang berjalan santai. Aku menyesap sisa kopi yang masih hangat, membiarkan diri larut dalam harmoni antara musik, hujan, dan ketenangan yang jarang bisa kunikmati di hari-hari yang sibuk.
Pagi ini bukan sekadar tentang hujan atau udara dingin, tapi tentang momen kecil yang membuat hidup lebih bermakna. Lagu, kopi, hujan, dan suara burung—semua berpadu dalam satu melodi sederhana yang membawa ketenangan.[***]