Pingintau.id, Kelapa dan produk turunannya yang sudah familiar di masyarakat, seperti nata de coco, santan, dan virgin coconut oir (VCO), mempunyai daya jual tinggi. Begitu juga dengan bawang putih, yang digunakan untuk bumbu masak, bisa dimanfaatkan juga untuk obat herbal. Hal ini menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga dapat meningkatkan perekonomian daerah.
Demikian dijelaskan Erwin Sjachrial Koordinator Diseminasi Pemanfaatan Inovasi Daerah, mewakili Plt. Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Riset Inovasi Daerah dari Kedeputian Bidang Riset dan Inovasi Daerah-Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Diseminasi dan Bimbingan Teknis Pemanfaatan Riset dan Inovasi Daerah, bertema Pengembangan Bahan Alam dan Prospek Bisnis Kelapa dan Bawang Putih, melalui zooming meeting, Kamis (18/08).
“Kami berharap, webinar ini akan memberikan manfaat, dan bisa diterapkan di masyarakat. Bahkan dapat dikembangkan untuk bisnis, yang memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat,” tuturnya.
Edy Marwanta peneliti Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obata Tradisional BRIN menjelaskan, budidaya bawang putih, harus memiliki ketinggian 700-1000 mdpl. Sentranya berlokasi di Temanggung, Lombok Timur, Tegal, Magelang, dan lainnya. “Kebutuhan nasional bawang putih 500 ribu ton per tahun, tetapi lebih dari 90% masih impor, yaitu sebanyak 465.344 ton. Hal ini sebagai tugas Kementerian Pertanian, untuk mendorong penanaman bawang putih,” ungkapnya.
Bawang putih lokal harganya lebih mahal, lanjut Edy, namun punya kelebihan pada aromanya yang lebih kuat, sehingga kalau dimasak lebih sedap. “Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah produk ini, yaitu dengan mengolah bawang putih menjadi black garlic. Black garlic adalah bawang putih yang difermentasi secara enzimatis,” terangnya.
Dengan pengelolaan bawang putih mentah menjadi black garlic, dapat meningkatkan kandungan senyawa antioksidan, sehingga memiliki efek kesehatan yang lebih baik. Dalam pengolahan ini, masyarakat juga memproduksi, sebagai produk rumahan dengan menggunakan peralatan seadanya, dan hasilnya tidak maksimal.
“Di sinilah peran periset melakukan optimasi, cara memproses black garlic yang benar. Kuncinya dengan parameter, seperti: suhu, kelembaban, waktu yang harus dikontrol, dan standardisasi proses, sehingga menghasilkan produk yang berkualitas. Senyawa bioaktif utamanya, berkhasiat untuk menurunkan kolesterol, hipertensi, stroke, kanker, dan lainnya,” paparnya.
Dirinya juga menjelaskan, riset inovasi proses produksi black garlic ini, menggunakan teknologi far infrated. Dari aspek pangan, akan menghasilkan tekstur yang lebih lembut, dan citarasa lebih enak. “Pada aspek kesehatan, memiliki kandungan bioaktif lebih tinggi. Bahan baku black garlic dengan menggunakan bawang putih lokal, memiliki kelebihan, yaitu bentuk lebih bagus, kulit lebih kuat, efisiensi produk utuh di atas 90%, tekstur, dan citaraasa lebih enak, serta butiran lebih kecil,” beber Edy.
Black garlic memiliki kandungan yang bernama SAC (S-allylcysteine), yaitu senyawa bioaktif utama dalam black garlic dengan efek kesehatan sebagai antioxidant, anti-diabetes, anti-stroke, anti-cancer, anti-hypertensive, anti-blood clotting, dan cardioprotective. “Hasil riset SAC black garlic yang diproduksi oleh BRIN lebih tinggi, dari merk di pasaran yang diproduksi oleh Jepang dan Korea. Produk hasil riset BRIN setelah diuji, ternyata kandungan SAC nya hingga 20 kali lipat, dibanding yang beredar di pasaran hanya 5 kali,” ungkap Edy.
Ani Setyopratiwi Dosen Fakultas MIPA UGM menjelaskan, Indonesia menghasilkan VCO terbaik di dunia, karena kita mempunyai metode, yang tidak bisa dilakukan oleh negara lain. Satu hal yang menentukan kualitas VCO yaitu metodenya, bukan asal sekedar menjadi minyak kelapa.
“Kita harus memperhatikan, jangan sampai minyak yang sudah terpisah itu mengalami kerusakan. Sampai muncul free fatty acid (FFA) atau asam lema bebas, dalam beberapa hari sudah bau tengik. Kemudian, Vitamin E yang ada, sudah menjadi oksidan, yang berubah menjadi bahan penyebab minyak tersebut menjadi bau tengik,” tambahnya.
VCO, adalah minyak kelapa yang tidak mengalami perubahan kualitas, dalam proses pemisahan dari emulsi santan. Dibuat tanpa pemanasan, memecah emulsi santan melalui proses fermentasi secara alami, atau buatan. Bahan baku dipilih kelapa yang tua, kering di pohon, dan segar. Tidak dilakukan refining, bleaching dan deodorisasi (RBD).
Ia mengatakan, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 produksi kelapa nasional mencapai 2,85 juta ton. Jumlah tersebut meningkat 1,47%, dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 2,81 juta ton. “Sebenarnya Indonesia itu bukan penghasil kelapa terbanyak di dunia, namun kita memiliki iklim yang memenuhi syarat, untuk terjadinya fermentasi santan kelapa secara alami. Tanpa pemanasan, dan tanpa menambahkan bahan perusak emulsi santan. Suhu fermentasi alami, berkisar antara 30-400C,” terangnya.
Lebih jauh, Ani menerangkan, metode fermentasi alami, santan kelapa dibiarkan terpecah secara alami, tanpa penambahan bahan apapun. Produk yang dihasilkan, disebut ekstra VCO, kadar vitamin E tinggi, tanggal kadaluarsa panjang. FFA dan kadar air sangat rendah di bawah standar, jernih, harum dan encer.
“Metode fermentasi buatan, menggunakan proses: pengasaman, pancingan, penambahan bakteri, penambahan ragi, penambahan enzim, pembekuan, dll. Kelemahan proses pembuatan VCO dengan fermentasi buatan, yaitu: kegagalan relatif tinggi, FFA kadar air di atas standar, terjadi rancid, agak kental, dan tanggal kadaluarsa pendek,” bebernya.
Dia juga menjelaskan mengenai manfaat ekstra VCO, untuk mengatasi semua penyakit, meningkatkan stamina tubuh, mencegah pembentukan kolesterol, menjaga kelembaban dan kesehatan kulit. Ekstra VCO bukan tergolong obat, karena tidak memiliki LD-50.[***]