“Tidak diragukan lagi, manusia telah membuat suhu meningkat di atmosfer, lautan, dan daratan”.
Begitu kiranya salah satu pernyataan dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dirilis pada pertengahan 2021. Dan itulah kenyataan yang kita alami hari ini.
Buktinya, tahun 2021 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah.
Hal ini dilaporkan dan dikonfirmasi setidaknya oleh tiga lembaga berbeda, yaitu badan antariksa Amerika Serikat NASA, badan kelautan dan atmosfer Amerika Serikat NAOO, dan Persatuan Bangsa-Bangsa.
“Tentu saja semua ini didorong oleh peningkatan konsentrasi gas yang memerangkap panas, seperti karbon dioksida,” ujar Russell Vose dari NAOO yang semakin mempertegas pernyataan dari laporan IPCC.
Akibatnya, suhu rata-rata bumi tahun 2021 naik antara 1,1 hingga 1,2 derajat celcius dari era sebelum industri. Selama tujuh tahun terakhir, bumi selalu memecahkan rekor tahun terpanas dari tahun ke tahun.
Di Indonesia sendiri, tahun 2021 dianggap tahun yang ‘basah’ karena curah hujan yang cukup tinggi akibat dari La Nina. Namun sayangnya La Nina tidak mampu menjadi kekuatan pendingin yang dibutuhkan bumi secara keseluruhan.
Dosen senior Ilmu Iklim Universitas Melbourne, Andrew King, menyebutkan bahwa hal ini “menunjukan betapa kuatnya tren pemanasan jangka panjang.” Ngeri!
Tren yang sama juga terjadi di lautan berdasarkan penelitian terbaru. Peneliti iklim dari Universitas Auckland, Kevin Trenberth, dalam wawancaranya dengan The Conversation menyebutkan lautan yang menghangat bisa berdampak pada terciptanya badai dan angin topan yang lebih kuat, juga curah hujan yang lebih deras. Hal ini berdampak langsung pada manusia.
Cuaca ekstrem akan menjadi ‘normal baru’ apabila manusia gagal mencegah lebih banyak pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer. Padahal dengan curah hujan atau kekeringan yang terjadi sekarang saja, banyak wilayah di Indonesia yang kewalahan.
Di awal tahun 2022, BMKG sudah membuat peringatan agar masyarakat Indonesia mewaspadai bencana hidrometeorologi yang mungkin terjadi tahun ini. Semoga hal ini dibarengi dengan upaya mitigasi bencana yang maksimal dari pemerintah. Karena Krisis Iklim bukan hanya soal adaptasi, tapi juga mitigasi.
So, what’s next?
Yang paling utama adalah menghindari bumi sampai di titik kenaikan panas hingga 1,5 derajat celcius – artinya hanya sekitar 0,4 derajat celcius dari yang kita rasakan saat ini. Karena semakin kita mendekat ke kenaikan 2 derajat celcius, semakin sering potensi bencana terjadi di sekitar kita.
Jika melihat seberapa cepat kembalinya emisi CO2 dari bahan bakar fosil tahun 2021 seiring dengan pergerakan ekonomi pasca awal pandemi tahun 2020, menempatkan ekonomi yang berkelanjutan adalah langkah penting di titik ini. Karena sejatinya menghangatnya bumi adalah efek dari kegiatan ekonomi yang hanya mengedepankan keuntungan dibanding keberlanjutan.
Indonesia harus ambil bagian dalam upaya mengimplementasikan ekonomi berkelanjutan dengan tidak lagi mengeksploitasi sumber daya alam, tapi juga memikirkan dampaknya bagi masyarakat dan lingkungan.
Daripada sibuk menghabiskan uang untuk membangun ibukota baru yang akan berdampak pada kerusakan hutan, lebih baik pemerintahan Presiden Jokowi fokus membangun investasi energi terbarukan (yang bukan nuklir), mengubah kota yang sudah ada di Indonesia menjadi lebih berkelanjutan dengan transportasi publik berbasis listrik, dan mendorong ekonomi hijau yang tidak hanya bermanfaat bagi manusia tapi juga planet kita.[***]
Salam hijau damai,
Greenpeace Indonesia