Pingintau.id, – Kalau kamu pikir festival musik cuma ajang joget-joget dan selfie di tengah lampu disko, pikir ulang. Karena di balik suara bas yang mengguncang dada dan lirik galau yang bikin mantan ingin ditelepon, ada denyut ekonomi yang pelan-pelan ikut berdansa.
Lihat saja Pestapora, festival musik yang kalau diibaratkan makanan, itu kayak nasi padang lengkap, penuh cita rasa lokal, dan bikin nagih.
Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya bahkan sampai ikut menyetel nada tinggi bukan nyanyi, tapi dukungannya terhadap Pestapora yang katanya bisa buka lapangan kerja. Ya memang benar, karena dari tukang sound system sampai penjual sate taichan, semua kebagian rejeki pas festival ini digelar.
Kata Pak Menteri, ekonomi kreatif ini adalah “mesin baru pertumbuhan nasional”. Semoga mesinnya bukan mesin dispenser yang rusak, kalau ditekan tombol dingin malah keluar panas. Tapi kalau Pestapora dijadikan parameter, kita optimis ini mesin turbo.
Soalnya, tahun lalu saja Pestapora narik 101 ribu penonton. Itu kalau dijajarin, bisa bikin barisan dari Kemayoran sampai Cibinong, belum lagi ada 287 penampil sampai bingung mau nonton siapa duluan, karena semua band seperti mantan susah dilupakan.
Bayangin, satu festival bisa menghidupkan banyak subsektor musik, kuliner, fashion, digital, bahkan juru parkir kreatif yang bisa ngedance sambil ngasih aba-aba. Ini bukan festival biasa, ini pertunjukan kolaborasi hexahelix istilah keren buat kerja bareng antara pemerintah, bisnis, komunitas, akademisi, media, dan masyarakat.
Pokoknya semua ikut nimbrung, kayak acara kawinan di kampung yang undangannya 200 tapi yang datang 600, dan semuanya bawa rendang.
Tahun ini Latihan Pestapora nggak cuma digelar di Solo dan Pekanbaru, tapi juga nyebrang negara ke Negeri Jiran- Malaysia siap digoyang di Surf Beach Sunway Lagoon. Ini kayak kita dulu suka main ke rumah tetangga, eh sekarang malah main ke rumah tetangga beda negara.
Salut! menunjukkan bahwa musik lokal kita punya paspor sendiri tak perlu antre imigrasi untuk menembus hati pendengar mancanegara.
Liat Korea Selatan mereka ekspor K-Pop udah kayak ekspor mobil. Nah, Indonesia punya potensi yang sama. Musisi lokal kita punya lagu-lagu yang bukan cuma enak di kuping, tapi juga ngena di hati dan ngocok emosi terutama yang abis putus dan belum move on.
Dari Lapak ke Pentas Dunia
Di balik gegap gempita Pestapora, ada Boss Creator bukan bos kos-kosan, tapi perusahaan yang serius menata kreativitas. Merekalah yang memfasilitasi “Latihan Pestapora”, semacam gladi resik nasional buat musisi lokal. Ini penting, karena banyak talenta kita yang suara emasnya cuma sampai kamar mandi dengan dukungan seperti ini, mereka bisa naik panggung, bukan cuma nyanyi di status WhatsApp.
Festival ini nggak cuma tentang musik. Ada booth UMKM, jajanan lokal, merchandise yang estetik, dan ruang-ruang interaksi yang menjadikan kreativitas sebagai mata uang masa depan. Ini kayak Indonesia versi mini ramai, penuh warna, kadang macet juga, tapi bikin bangga.
Seperti kata Barack Obama bersabda, “The future belongs to young people with an education and the imagination to create.” yang artinya Pestapora ini adalah panggungnya para muda-mudi yang imajinatif, kreatif, dan haus panggungtapi tetap lapar nasi goreng tengah malam.
Mari kita dukung festival musik bukan cuma dengan upload OOTD, tapi juga dengan menyadari bahwa industri ini bisa jadi roda penggerak ekonomi nasional. Jangan sampai musik cuma jadi backsound IG Story, tapi jadikan ia pembuka jalan bagi kemajuan negeri.
Pestapora bukan cuma ajang joget-joget sambil pakai kacamata hitam malam-malam. Ia adalah bukti bahwa kreativitas bisa menjelma jadi peluang kerja, jadi pertunjukan lintas kota, bahkan lintas negara.
Dengan semangat kolaborasi hexahelix yang kalau dibaca cepat bisa bikin lidah keseleo kita bisa mengangkat subsektor musik lokal dari sekadar hobi jadi lokomotif ekonomi yang nyetel nadanya ke masa depan.
Di era di mana pasar kerja makin mirip colokan banyak lubang tapi nggak semua cocok sama steker kita, industri kreatif bisa jadi jawaban.
Apalagi buat anak muda yang lebih nyaman pegang gitar ketimbang dasi, atau lebih sering ngulik lirik ketimbang ngulik Excel. Pestapora hadir bukan hanya buat nonton, tapi buat nonton sambil nyambung masa depan.
Akhir cerita kata-kata ini bisa menjadi inspirasi “. Jika tak bisa jadi menteri, jadilah penyanyi yang bisa manggung di depan menteri” atau “Rezeki tak selalu datang dari meja kantor. Kadang datang dari panggung kecil, gitar usang, dan keberanian untuk tampil.”.[***]