Ragam  

Kabar Greenpeace Indonesia : Lagi-Lagi Batu Bara

 

“Keputusan pencabutan larangan ekspor itu menguntungkan oligarki batu bara karena mereka bisa menjual batu bara ke pasar domestik dengan harga lebih tinggi dan mendorong jumlah ekspor batu bara,” ujar Tata Mutasya, Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Apa konsekuensinya? Subsidi yang lebih besar pada batu bara dan listrik akan dibutuhkan untuk membeli batu bara harga pasar.

Padahal analisis World Bank dalam laporan “Indonesia Economic Prospects (IEP), Dec 2021: A Green Horizon Toward a High Growth and Low Carbon Economy” menyebutkan reformasi subsidi batu bara, bahan bakar, dan listrik adalah hal yang dibutuhkan dalam transisi rendah karbon di Indonesia – selain masuknya investasi swasta pada sektor energi bersih.

 

Ketergantungan Indonesia dan Asia Tenggara secara umum pada batu bara akan memperparah krisis iklim di regional dan global. Apalagi jika mengingat ongkos tinggi yang harus dibayar pada lingkungan dan manusia sebagai dampak produksi batu bara itu sendiri, tambah Tata.

Nyatanya, sumbangan emisi GRK pembangkit listrik dan batu bara terus meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia.

Laporan Kementerian ESDM bertajuk “Inventarisasi Emisi GRK Bidang Energi Tahun 2020” mencatat pada tahun 2019 total emisi GRK dari kategori industri produsen energi hampir 280.000 Gg CO2e yang berasal dari tiga subkategori, yaitu pembangkit listrik, kilang minyak, dan pengolahan batu bara. Emisi pada kategori ini mengalami peningkatan rata-rata sebesar 7,13% per tahun.

Angka ini harus ditekan jika pemerintah Indonesia serius dalam upaya penanganan krisis iklimnya. Apalagi kita semakin dekat dengan tenggat target NDC di tahun 2030 untuk mengurangi emisi GRK 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.

Yuk, suarakan kebutuhanmu akan energi bersih dan terbarukan sekarang![***]

Salam hijau damai,

Greenpeace Indonesia

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *