Pingintau.id, Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversitas dengan keanekaragaman hayati tumbuhan dan laut beserta dukungannya dengan kebijakan baru dalam transformasi kesehatan, khususnya pilar kesehatan ketahanan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah mendorong penelitian pengembangan bahan baku obat dengan memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.
Melalui Pusat Riset Bahan Obat dan Obat Tradisional (PRBBOOT), Organisasi Riset dan Kesehatan BRIN, kembali mengadakan bincang riset dengan tema pengembangan penemuan kandidat obat dan perkembangannya.
Pada webinar keempat kali ini,membincangkan eksplorasi dan pengembangan kandidat obat dengan memanfaatkan senyawa penuntun produk alami untuk desain dan pengembangan obat yang diinisiasi oleh Kelompok Riset Kimia Medisinal dan Kecerdasan Buatan.
“Kita semua tahu bahwa dalam dua dekade terakhir, upaya penemuan obat telah menghabiskan jutaan dolar melalui penyaringan throughput tinggi yang menghasilkan hanya beberapa obat yang dipatenkan. “Saat ini, teknologi kemajuan di bidang penelitian pengembangan obat berkembang sangat pesat, hal ini memungkinkan pemilihan molekul buatan dengan target protein yang jelas, sehingga akan sangat menghemat biaya,” ungkap Kepala PRBBOOT BRIN, Yuli Widiyastuti saat membuka webinar, pada Rabu (24/8).
Dirinya menyampaikan bahwa penemuan senyawa baru masih diperlukan untuk mengantisipasi kemunculan penyakit-penyakit baru termasuk penyakit yang muncul kembali yang tentu saja membutuhkan obat baru. “Kami percaya bahwa alam adalah sumber senyawa kimia dari semua obat dan Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya adalah pabrik kimia terbesar di dunia,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama peneliti dari Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional, Muhammad Hanafi menerangkan tentang proses penemuan dan pengembangan obat-obatan dari produk alami sebagai bahan baku obat dalam paparannya bertajuk “Drug discovery and Development Process from Natural Products as Candidate Drugs”.
“Kondisi Indonesia saat ini sebagai pusat mega biodiversitas nomor dua, namun lebih dari 95% bahan baku dan obat-obatan masih impor, proses penemuan dan pengembangan obat baru memakan waktu lama, rumit, biaya tinggi, risiko tinggi serta tergantung juga pada keahlian dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan manajerial kelompok riset,” tutur Hanafi.[***]