Ragam  

Belajar Mengenal Gempa Bumi Ala KKP

Pingintau.id, Pagi itu bumi bergoyang di ranah Minang. Orang-orang berhamburan keluar bangunan. Tampak guru-guru berlari keluar bersama siswa-siswi yang berteriak menangis. Bahkan pasien Rumah Sakit pun dievakuasi keluar ruangan. Begitulah suasana gempa bumi 6,1 SR yang terjadi di Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), Jumat (25/2/2022). Gempa ini mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka, serta ratusan bangunan rusak dengan kategori berat hingga ringan. Peneliti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap sejumlah fakta.

Penelitian terkait gempa dilakukan KKP melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM). Dalam hal ini, penelitian dilakukan salah satunya oleh Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir (LRSDKP) Bungus, Padang Sumbar, di bawah supervisi Pusat Riset Kelautan BRSDM.

“Salah satu upaya manusia tentu saja untuk mencoba mengetahui dan mengerti apa yang telah, sedang dan akan terjadi. Seperti diketahui bahwa Pulau Sumatera menyimpan potensi tektonik yang dikenal sebagai Patahan Sumatera, yaitu patahan yang memotong Pulau Sumatera dari ujung utara barat di Aceh, hingga ke selatan di Lampung. Ini bukan sebagai ramalan atau amaran gempa. Namun dengan memiliki pengetahuan, maka diharapkan akan sedikit mengurangi kepanikan, dan kita menjadi lebih tahu dan lebih siap tentang apa yang harus dikerjakan. Patahan Sumatera ini sangat tersegmentasi, dan terdiri dari 20 segmen geometris yang didefinisikan utama, yang berkisar panjang dari sekitar 60 sampai 200 km. Panjang segmen ini dipengaruhi dimensi sumber gempa dan telah membagi menjadi patahan-patahan lebih pendek yang secara historis telah menyebabkan gempa dengan kekuatan antara Mw 6,5 hingga 7,7,” kata Peneliti LRSDKP Wisnu Arya Gemilang.

Lelaki berkacamata lulusan S2 Teknik Lingkungan ini merupakan ahli geologi lingkungan. Sudah tujuh tahun ia bergabung dengan KKP. Berkantor di area kompleks Pelabuhan Perikanan Bungus Padang, ia bersama tim melakukan penelitian kerentanan pesisir.

“Berdasarkan peta historis gempa Sumatera, bahwa lokasi kejadian gempa pada hari Jumat merupakan daerah sekitar titik segmen yang pernah terjadi gempa dengan kekuatan 6,8 SR di tahun 1926. Bahaya gempa tidak pernah muncul sendirian. Kita tahu gempa menyebabkan retakan-retakan yang mungkin terjadi longsor akibat dipicu hujan. Gempa juga dapat diikuti oleh dampak bencana lainnya seperti likuifaksi atau pencairan tanah selain itu juga memicu tsunami, tentunya peta bahayanya gempa menjadi tidak sekedar bahaya goyangan gempa saja,” tambah Wisnu.

Menurutnya, getaran gempa bumi di Pasaman telah mengakibatkan adanya fenomena likuifaksi (tanah mengalir) dan bercampur air panas di pinggiran Sungai Batang Timah. Peristiwa alam ini membuat material sungai berupa lumpur meluap ke permukiman warga di Malampah, Kecamatan Tigo Nagari. Material lumpur dari sungai itu meluap ke permukiman warga dan menimpa sejumlah rumah. Apalagi melihat beberapa bukti longsor yang terjadi di lereng Gunung Talamau terjadi fenomena geologi debrisflow atau mudflow, yang biasanya terjadi saat hujan lebat terjadi di hulu, dan akan membangkitkan aliran debris ini dan menghantam pemukiman di sekitar sungai. Gunung Talamau mempunyai elevasi puncak tertinggi di Sumbar. Akibat gempa pada hari Jumat lalu tersebut, sekeliling aliran sungai di gunung berpotensi mengalami retakan dan longsor sehingga material longsor masuk ke badan sungai dan terbawa aliran air sampai ke hilir.

Jika dikorelasikan, hal tersebut sesuai dengan hasil pengukuran geolistrik terdekat yang dilakukan oleh tim LRSDKP dalam kegiatan Riset Identifikasi Kerentanan Pesisir pada tahun 2019 di beberapa lokasi di pesisir Pasaman Barat. Hasil kegiatan tersebut telah disosialisasikan pada akhir 2019 di Kantor Gubernur Sumbar, yang dihadiri sekitar 200 peserta dari organisasi perangkat daerah tingkat Provinsi Sumbar maupun Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumbar, serta satuan kerja KKP dan Kementerian/Lembaga terkait. Sosialisasi juga dilakukan melalui website dan media sosial.

“Dari jejak historis kejadian peristiwa gempa bumi di Pulau Sumatera, maka sangat diperlukan sebuah upaya mitigasi bencana gempa bumi serta bencana ikutannya dengan melakukan pembuatan peta zonasi gempa. Sementara itu, peta untuk kebutuhan kebencanaan harus diturunkan atau diproses dan dianalisis lebih lanjut sesuai dengan mikrozonasi kerawanan gempa. Untuk komponen dalam peta rawan bencana gempa, perlu ditambahkan komponen peta patahan aktif dan nonaktif. Upaya pembuatan peta rawan bencana gempa yang terinci diharapkan dapat meminimalisir dampak terjadinya bencana mendatang,” pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan pihaknya bertanggung jawab dalam upaya mitigasi bencana. “Berbagai upaya mitigasi bencana telah dilakukan oleh KKP, baik secara langsung maupun sebagai muatan dan pertimbangan dalam pelaksanaan kegiatan lainnya,” ujarnya pada kegiatan Catatan Akhir Tahun 2021 dan Program Ekonomi Biru 2022.[***]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *