Pingintau.id, – Empat negara ASEAN menampilkan ragam budayanya masing-masing melalui pameran dan lokakarya di Benteng Rotterdam pada hari kedua dan ketiga penyelenggaraan Festival Budayaw IV di Makassar, Sulawesi Selatan.
Festival Budayaw merupakan perayaan seni budaya untuk memperkuat hubungan masyarakat di sub-kawasan East ASEAN Growth Area (EAGA) yang merupakan bagian dari kerja sama sub-kawasan yang melibatkan empat negara ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Filipina (BIMP-EAGA).
Festival Budayaw di hari kedua, pada Sabtu (2/9), menampilkan Lokakarya Pewarnaan Alami dari keempat negara. Dalam kebudayaan di Indonesia, termasuk yang menjadi bagian dari sub-kawasan Asia Tenggara bagian timur, pemanfaatan pewarnaan alami terutama pada produk-produk wastra telah berlangsung sangat lama.
Keragaman hayati yang ada di kawasan tersebut, termasuk kekayaan rempahnya, telah menghasilkan berbagai sumber atau bahan pewarnaan alami yang sangat kaya, berikut pengetahuan dan teknik yang telah berkembang dan diterapkan dalam penciptaan produk-produk dimaksud. Teknik pewarnaan alami ini juga dimiliki oleh negara ASEAN lain, misalnya Filipina, yang menampilkan tenun T’nalak dalam Lokakarya Pewarnaan Alami di Budayaw IV.
T’nalak adalah tradisi tenun dari masyarakat suku T’boli, kelompok etnik asli dari Cotabato Selatan, Pulau Mindanao, Filipina. Kain ini unik karena ditenun secara khusus oleh perempuan yang menerima desainnya dalam mimpi, yang dipercaya merupakan anugerah dari Fu Dalu, Dewi Abaca masyarakat T’boli.
Praktik tersebut membuat suku ini dikenal sebagai Penenun Mimpi. Dengan menggunakan mesin tenun Abaca, Penenun Mimpi mengimplementasikan desain yang rumit dalam proses yang bisa memakan waktu dua bulan, tergantung desain yang dibuat. Komunitas suku T’boli juga terlibat dalam pemilihan dan pengupasan tanaman Abaca untuk diproses sebagai serat, kemudian dijemur untuk pewarnaan, lalu diwarnai melalui teknik ikat.
Budayawan dari suku T’boli, Chita T. Falan, menjelaskan bahwa T’nalak menggunakan tiga warna, yaitu putih, merah, dan hitam. Warna alami Abaca adalah putih, tapi warna merahnya berasal dari akar merah-kecoklatan pohon Loko, sedangkan warna hitam didapat dari rebusan daun pohon Khalum selama tujuh hari, yang membuatnya berwarna hitam seperti tinta. Chita mengatakan bahwa setiap warna serat Abaca memiliki makna dan filosofis hidup.
“Warna hitam untuk tanah, bermakna kehidupan asli kita berasal dari tanah, karena itu kita harus menjaga dan melindungi kealamian tanah. Warna putih untuk kemurnian, memiliki makna bahwa manusia memiliki cinta dan kasih sayang. Warna merah untuk darah, bermakna keberanian. Bahwa meskipun dalam hidup ada banyak masalah, kita harus kuat dan berjuang untuk diri sendiri maupun komunitas adat,” tutur Chita saat ditemui dalam Lokakarya Pewarnaan Alami di Benteng Rotterdam, Makassar, Sabtu (2/9).
Selain T’nalak dari Filipina, Lokakarya Pewarnaan Alami di Budayaw IV juga menampilkan pewarnaan alami dengan rempah-rempah dari Brunei Darussalam oleh Dayang Norhafilah binti Haji Amin. Selain itu, dari Indonesia menghadirkan Batik Aksara Lontara dari Sulawesi Selatan, Kain Tenun Kajang dari Kabupaten Bulukumba, Sasirangan dari Kalimantan Selatan, Noken dari Papua, dan Lukis Tanah Liat dari Sulawesi Selatan.
Salah satu yang menarik dari Lokakarya Pewarnaan Alami adalah melukis dengan tanah liat. Teknik melukis ini diawali dengan menggunakan tanah liat di atas kertas. Pertama-tama, tanah liat dituangkan ke atas kertas, lalu tanah liat diratakan di atas kertas. Tahap kedua, gunakan tangan untuk menggores objek yang diinginkan dan bilah bambu (gamacca) untuk menggores membentuk objek yang diinginkan. Tahap ketiga, gunakan kertas koran untuk membuat objek pohon. Setelah lukisan selesai, dikeringkan atau dijemur di bawah terik matahari.
Seorang delegasi dari Malaysia, Faizun, tampak menikmati lokakarya melukis dengan tanah liat yang diajarkan oleh pelukis asal Sulawesi Selatan, Zainal Beta. Bahkan di tahap keempat, dia berusaha menggabungkan semua teknik yang telah diajarkan, yaitu dengan tangan, bilah bambu, dan kertas koran. “Yang saya lukis ini terinspirasi dari Tawau, tempat tinggal kami di Sabah, Malaysia. Ini umpamanya padi di sawah yang di kampung-kampung. Yang ini ingin dibuat seperti rumah kampung, tapi akhirnya jadi seperti gubug. Tidak sulit ternyata melukisnya. Ini seronok, keren. Saya enjoy,” tuturnya.
Zainal Beta mengatakan, tanah merupakan media untuk melukis dan terdapat 20 warna dari tanah yang berbeda-beda. “Yang sering saya pakai ada tujuh warna, tapi kalau workshop hanya satu warna karena kita belum bisa kasih perpaduan warna. Beda kalau pakai cat, dari kuning dicampur biru bisa jadi hijau. Tanah tidak bisa dicampur dengan kimia. Jadi, harus ada beberapa jenis tanah kalau mau menggunakan warna yang berbeda,” katanya.
Pada hari kedua Festival Budayaw IV, Minggu (3/9), diselenggarakan Lokakarya Kuliner dari empat negara BIMP-EAGA untuk mengetahui lebih dalam kekayaan khazanah rempah dalam masakan. Lokakarya menghadirkan tokoh-tokoh yang berkompeten dalam bidang boga atau kuliner dengan menggunakan unsur rempah dalam masakan yang mewakili karakteristik budaya masing-masing. Dalam membagikan pengetahuan tentang kuliner, instruktur melakukannya sembari praktik demo memasak atau fun cooking masakan khas dari kebudayaan asal masing-masing dan pengunjung bisa mencicipi masakan secara langsung.
Dalam Lokakarya Kuliner, Chef Awang MD Nur Sallehuddin dari Brunei Darussalam melakukan praktik demo membuat kue Biraksa. Biraksa merupakan kue khas Brunei yang dalam pembuatannya menggunakan empat bahan utama, yaitu tepung beras, campuran bumbu jintan, biji ketumbar, dan gula merah. Setelah dicampur semua bahannya, selanjutnya adonan Biraksa diletakkan di atas daun lontar yang sudah dibentuk segi empat, lalu dikukus.
Chef Sallehuddin mengatakan, memasak atau membuat kue dengan hanya menggunakan rempah-rempah mengingatkan kita untuk kembali ke semula, bagaimana leluhur kita memanfaatkan apa saja yang ada di alam untuk kehidupan. “Alhamdulillah membuka mata dan banyak belajar dari sini. Seperti juga kue-kue Melayu atau kue-kue Borneo, di mana zaman sekarang sudah kurang menggunakan rempah. Tapi di sini mengingatkan lagi zaman semula. Semoga orang zaman sekarang dapat merasakan kue-kue lama dengan rasa rempah. Alhamdulillah, saya enjoy,” tuturnya.
Direktur Pemanfaatan dan Pengembangan Kebudayaan, Kemendikbudristek, Irini Dewi Wanti, mengatakan bahwa Lokakarya Kuliner dalam Festival Budayaw IV juga mengangkat isu tentang ketahanan pangan. “Ini sesuatu yang luar biasa bahwa makanan kita itu tidak harus beras atau nasi untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, ada sagu juga salah satunya. Dan ini sebagai sebuah kebiasaan masyarakat di sebagian di wilayah Indonesia maupun juga dengan negara-negara kita, misalnya Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina. Ketahanan pangan juga menyesuaikan dengan kehidupan berkelanjutan yang sangat dekat dengan alam,” katanya di sela-sela Lokakarya Kuliner Budayaw IV.
Irini juga menuturkan, Festival Budayaw IV memberikan kesadaran kepada kita mengenai pentingnya menjaga alam dan lingkungan yang memberikan kehidupan berkelanjutan untuk manusia. “Jadi berdamai dengan alam, menjaga alam lingkungan untuk kehidupan kita saat ini dan untuk generasi selanjutnya,” ujarnya.
Lalu pada Lokakarya Pewarnaan Alami, lanjutnya, ternyata banyak jenis tumbuhan yang hampir sama jenis tumbuhannya, tapi dengan nama-nama lokal yang berbeda. Ini menjadi khazanah budaya di kawasan BIMP-EAGA. “Bahwa alam itu sudah memberikan hal yang banyak, yang luar biasa kepada kita. Jadi, kalaupun kita beralih ke modernisasi, tetap pewarnaan alam dari semua tumbuhan yang kita miliki ini harus bisa dibudidayakan kembali, karena ‘kan ini untuk menjaga alam dan lingkungan,” imbau Irini.[***]