Pingintau.id, Jakarta – Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra), Herry Jogaswara menyampaikan, baik para pemantik dan moderator akan menyampaikan teori dan konsep pengetahuan yang sesuai dengan hasil kajian. “Berbicara terkait seksualitas, ini sangat menarik! Seringkali, ketika menyampaikan di ruang publik, kita kadang ragu-ragu jika yang berhubungan dengan tema seksualitas. Namun sebenarnya, sepanjang berbasis ilmu pengetahuan, itu tidak masalah dan tidak dianggap pornografi,” tegas Herry saat menjadi pembicara kunci dalam webinar tersebut.
Acara ini digelar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra menggelar webinar dengan topik kajian “Agama dan Khazanah Pengetahuan Seksualitas Masyarakat Nusantara”, Selasa (06/06).
Kegiatan ini menghadirkan pemantik seorang profesor dari Universitas Hasanuddin, Muhlis Hadrawi dan Periset dari Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PR KKP), Abu Muslim.
Herry juga mengatakan, dalam pembahasan tema seksualitas ini nantinya akan ditemukan perilaku, juga nilai-nilai berdasarkan manuskrip. Langkah ini diyakininya bisa sebagai pembuka untuk menemukan pengetahuan seksualitas di wilayah nusantara. “Naskah manuskrip tentang seksual dalam konstruksi gender biologis seksual, yakni hubungan suami istri dalam kontekstual diharapkan inspiratif, dinamis, dan menarik,” imbuhnya.
Maka Herry berharap, ke depan, sumber manuskrip lisan dalam khazanah keagamaan dapat didiskusikan melalui pendanaan ekspedisi lisan daerah khusus, dengan berkolaborasi melalui mitra baik internal maupun eksternal BRIN.
Sementara, Kepala PR KKP, Wuri Handoko, menyampaikan pembahasan tentang simbol-simbol keseimbangan kosmos antara Laki-Laki dan Perempuan, serta Langit dan Bumi. Menurut pandangannya tentang konsep keseimbangan antara lelaki dan perempuan dalam proses penciptaan dan kelahiran, “Yin dan Yang” misalnya.
‘Yang’ sebagai simbol energi maskulinitas kaum pria, mendapatkan titik keseimbangannya ketika bertemu dan menyatu dengan energi feminitas ‘Yin’ sebagai simbol perempuan. “Menyatunya Yin dan Yang adalah energi keseimbangan dalam proses penciptaan dan kelahiran. Jadi tanpa penyatuan keduanya, tidak akan pernah ada proses penciptaan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Wuri mengatakan, dalam arkeologi klasik, kita mengenal simbol budaya dalam bentuk artefak Lingga Yoni, sebagai sarana ritual pemujaan masa Hindu-Budha. Dijelaskannya, Lingga merupakan simbol Dewa Siwa, sedangkan yoni melambangkan Dewi Parwati, istri atau shakti Siwa.
Kedua lambang ini merupakan simbol kesatuan antara laki-laki dan perempuan yang sangat dipuja dan sangat dihormati oleh para penganut agama Hindu aliran Siwa, sebagai kesatuan yang maha tinggi atau totalitas daripada segala yang ada.
Lingga-Yoni sebagai lambang Dewa Siwa tertinggi biasanya diletakkan di bilik bangunan candi sebagai objek pemujaan. Lingga yang berbentuk silinder (seperti phallus, kelamin laki-laki) tertanam di tengah yoni. Jadi dalam pemaknaan yang lebih luas, artefak Lingga Yoni bukan hanya simbol laki-laki dan perempuan, namun simbol penciptaan dan keseimbangan pula. Di mana, hal itu meletakkan makna sakral penciptaan, sebagai proses menyatunya laki-laki dan perempuan dalam makna batiniah yang suci dalam proses penciptaan dan keseimbangan jagat (kosmos).
“Hubungan laki-laki dan perempuan dalam berbagai simbol budayanya, dalam tradisi budaya nusantara, adalah tradisi yang sangat purba. Sejak dulu, ini sudah ada dalam rahim kebudayaan nusantara dan lahir dalam berbagai turunan kebudayaannya,” jelas Wuri.
Dikatakan Wuri, simbol hubungan laki-laki dan perempuan, juga langit – bumi dalam berbagai tradisi lokal, terdapat dalam simbol-simbol budaya benda atau budaya tak benda. Hal tersebut menjadi tradisi yang terus hidup turun temurun dan diwariskan. Sehingga, sekarang ini masih menjadi nilai budaya lokal yang dijadikan sumber pengetahuan lokal, yakni nilai-nilai falsafah yang terus dipedomani.
“Dengan berdiskusi kali ini, kita dapat mengembangkan, mereproduksi pengetahuan melalui pengayaan, serta ada pencerahan yang terus digaungkan melalui nilai-nilai lokal menuju globalisasi nasional dengan basis pendidikan berkualitas,” kata Wuri.
Selanjutnya, Muhlis Hadrawi memaparkan pembahasan tentang Assikalaibineng kitab literasi seksualitas Bugis. Secara etimologi ungkapan tersebut artinya hubungan laki-laki dan perempuan (suami-istri). Muhlis menjelaskan, teks assikalaibineng secara umum membahas terkait konsep seksualitas, pengetahuan alat reproduksi, prosedur/ tahapan hubungan, teknik sentuhan 12 titik, teknik bertahan (hati+pikiran+gerakan), menentukan jenis kelamin, kualitas anak (generasi), tata cara pembersihan tubuh, pengendalian kehamilan, waktu yang baik hubungan suami-istri, pengobatan dan perawatan kelamin, doa-doa, dan hal – hal lainnya.
Kemudian, Abu Muslim memaparkan bagaimana kasih sayang Tuhan dalam sistem pengetahuan seksualitas masyarakat Bugis melalui pembacaan kontekstual lontara assikalaibineng. Ia menyampaikan bahwa manuskrip assikalaibineng sebagai pusaka dalam bentuk tulisan tangan yang berisi tentang pola dan pengetahuan seksualitas masyarakat Bugis, yang merupakan warisan turun temurun.
Assikalaibineng ditujukan sebagai sebuah pengetahuan yang malebbi, yaitu sesuatu yang harus ditempatkan dengan cara-cara bijaksana dan mulia. Sehingga jika terdapat hal-hal yang dapat membuat sistem pengetahuan assikalaibineng ini melenceng dari sifat malebbi’ nya, maka hal tersebut dapat merancukan atau mengurangi aspek kebaikan yang ditimbulkannya. Abu juga menjelaskan, Manuskrip Assikalaibineng secara kontekstual sebagai upaya rekonstruksi sosial budaya, intelektual, dan keagamaan yang berkembang di tanah Bugis.[***]/brin