Pingintau.id,- Zakat di Indonesia itu ibarat harta karun yang belum digali maksimal. Bayangkan, potensinya tembus Rp327 triliun, tapi yang baru terkumpul Rp42 triliun. Ada selisih Rp285 triliun yang masih ngumpet entah di mana. Kementerian Agama (Kemenag) pun tancap gas, menargetkan kenaikan pengumpulan zakat nasional sebesar 10% di tahun 2025.
Target ini keren, tapi jangan cuma jadi jargon belaka. Untuk benar-benar mencapai lonjakan tersebut, harus ada strategi yang lebih dari sekadar ajakan berzakat. Untungnya, ada beberapa langkah yang sudah disiapkan, seperti optimalisasi distribusi dengan Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), transparansi pengelolaan, serta pemanfaatan teknologi digital.
Pengumpulan zakat memang penting, tapi kalau distribusinya masih berantakan, ya sama aja bohong. Penggunaan DTSEN untuk memastikan zakat sampai ke penerima yang benar-benar membutuhkan adalah langkah cerdas. Jangan sampai zakat malah jatuh ke tangan orang yang sudah dapat bantuan dari sumber lain, sementara yang benar-benar butuh malah gigit jari.
Selain itu, membangun kepercayaan publik juga wajib hukumnya. Banyak orang ragu berzakat melalui lembaga resmi karena takut uangnya tidak dikelola dengan baik. Transparansi dan akuntabilitas harus lebih dari sekadar wacana. Masyarakat butuh bukti nyata, bukan hanya janji-janji manis.
Di era digital ini, semua serba online. Mau makan? Tinggal klik. Mau belanja? Tinggal gesek. Masa bayar zakat masih harus ribet? Lembaga zakat harus lebih kreatif dengan metode pembayaran yang mudah dan cepat. Semakin simpel prosesnya, semakin besar kemungkinan orang akan berzakat. Bayangkan kalau ada aplikasi yang bisa langsung kalkulasi zakat dan sekali klik langsung transfer ke penerima manfaat. Gampang, cepat, dan aman!
Zakat bukan cuma soal memberi, tapi juga membangun kemandirian. Jangan sampai zakat hanya dijadikan dana konsumtif yang habis dalam hitungan hari. Harus ada program pemberdayaan ekonomi berbasis zakat, seperti modal usaha untuk UMKM, pelatihan kerja, atau investasi dalam sektor produktif. Dengan begitu, zakat bisa menjadi solusi jangka panjang dalam mengentaskan kemiskinan, bukan sekadar bantuan sesaat.
Target 10% ini sudah bagus, tapi jangan berhenti di angka. Yang lebih penting adalah bagaimana cara mencapainya. Sinergi antara pemerintah, lembaga zakat, dan masyarakat harus diperkuat. Jika pengelolaan zakat semakin profesional dan transparan, bukan tidak mungkin kita bisa mencapai potensi zakat nasional yang sesungguhnya. Ayo, zakat bisa jadi solusi nyata! .[***]