Pingintau.id, Sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) melakukan konsolidasi bersama dengan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM (2/2/2022).
Plt. Direktur Jenderal PRL Pamuji Lestari menerangkan bahwa konsolidasi bertujuan untuk mendengarkan pandangan dari perwakilan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) terkait dengan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi, termasuk perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dapat dikenakan.
Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 5 dan Pasal 40, kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Dalam pelaksanaannya, sesuai dengan PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Sementara untuk PNBP sudah diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Kita akan mengikuti ketentuan bahwa Pelaku Usaha wajib memenuhi persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan/atau Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang antara lain berupa kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan persetujuan lingkungan. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan wilayah yurisdiksi atau dikenal sebagai KKPRL diberikan untuk kegiatan menetap sesuai ketentuan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dilaksanakan melalui persetujuan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. Dalam hal pemberian Persetujuan KKPRL, maka menteri meletakkan aspek ekologi serta aspek kesehatan laut sebagai pertimbangan penting dan prioritas. Terlebih-lebih untuk kegiatan hulu migas sebagai salah satu dari sekian banyak kegiatan di ruang laut yang mempunyai risiko tinggi, baik pada waktu konstruksi maupun pasca konstruksi, yaitu sepanjang kegiatan hulu migas berlangsung,” papar Tari.
Perwakilan dari SKK Migas, Farida dan K3S mengemukakan bahwa kegiatan hulu migas merupakan kegiatan negara yang dioperatori oleh K3S, dilakukan untuk memenuhi kecukupan energi di Indonesia, dan menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang cukup besar. Terdapat beberapa tahapan kegiatan hulu migas, seperti eksplorasi dengan melakukan pengeboran untuk menemukan potensi sumur migas di mana belum tentu ditemukan cadangan migasnya sehingga belum diperoleh profit usaha. Apabila kegiatan eksplorasi dikenai PNBP sesuai dengan ketentuan PP 85/2021 untuk ruang laut yang dipergunakan selama kegiatan eksplorasi, maka dapat membebani dan dapat menghambat pelaku usaha hulu migas. Terkait dengan kegiatan negara tersebut, Farida menyampaikan pula bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) PP 85/2021 dapat dipertimbangkan untuk mengenakan tarif PNBP Persetujuan KKPRL hingga nol rupiah.
Menyikapi itu, Direktur Perencanaan Ruang Laut, Suharyanto menjelaskan bahwa hal-hal yang dikemukakan oleh SKK Migas dan K3S telah dijelaskan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, baik secara langsung maupun melalui surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada kesempatan sebelumnya. Semua jenis pemanfaatan ruang laut wajib menggaransi kondisi kesehatan laut dan keberlanjutan ekologi dari kemungkinan risiko tinggi yang timbul karena adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi hulu migas. Aspek ekologi laut merupakan aspek keberlangsungan kehidupan manusia dan mahluk hidup lain yang tidak bisa ditawar-tawar dan telah menjadi perhatian dan kesepakatan dunia internasional.
“Perlu kita fahami bahwa nilai tarif PNBP menurut ketentuan PP 85/2021 untuk Persetujuan KKPRL semua kegiatan menetap di laut termasuk kegiatan hulu migas adalah jauh lebih kecil daripada nilai valuasi ekonomi sumber daya laut dan ekosistem laut. Demi alasan ekologi atau pun alasan ekonomi, maka KKP tidak bisa menerima bila ada pihak yang merasa keberatan atas tarif PNBP untuk Persetujuan KKPRL terlebih-lebih untuk kegiatan yang memiliki risiko tinggi terhadap kelangsungan fungsi-fungsi ekologi di ruang laut. Oleh karena itu, pemberian Persetujuan KKPRL untuk kegiatan yang berisiko tinggi di ruang laut harus dipastikan bahwa secara ekologis telah aman dan akan dibuktikan dengan penerbitan persetujuan lingkungan,” tegas Suharyanto.
Menyinggung mengenai Pasal 17 ayat (1) PP 85/2021, Suharyanto menyampaikan bahwa KKP telah menerbitkan Permen KP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Besaran, Persyaratan, dan Tata Cara Pengenaan Tarif Sampai Dengan Nol Rupiah Atau Nol Persen Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tarif PNBP untuk Persetujuan KKPRL dikenakan untuk semua aktivitas kecuali untuk pelaku usaha yang masuk kategori masyarakat tradisional atau masyarakat pelaku usaha self subsisten, atau kegiatan non berusaha yang dapat dikenakan PNBP Persetujuan KKPRL hingga nol rupiah.
Suharyanto juga mengingatkan bahwa semua kegiatan berusaha di ruang laut merupakan kegiatan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara dan pengelolaannya bisa dilakukan oleh berbagai pelaku atau stakeholder.
“Semua kegiatan berusaha di ruang laut juga merupakan aktivitas ekonomi kelautan yang semuanya didorong untuk memberi kontribusi terhadap penerimaan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung dari foreward dan backward linkages sektor ekonomi di laut,” imbuh Suharyanto.
Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Profesor Tutuka Ariadji menyampaikan perhatian besar atas implementasi PP 85/2021. “Agar tidak terjadi kesalahan terkait implementasi PP 85/2021, maka SKK Migas dan K3S untuk menyiapkan data secara detail mengenai kebutuhan ruang laut untuk kegiatan hulu migas termasuk infrastrukturnya. Disamping itu, perkiraan nilai tagihan PNBP Persetujuan KKPRL tidak dihitung sendiri oleh K3S namun dihitung kembali secara bersama-sama antara K3S, SKK Migas, dan KKP sehingga diperoleh nilai PNBP Persetujuan KKPRL yang optimum sesuai dengan efisiensi pemanfaatan ruang laut untuk kegiatan hulu migas secara efektif,” ungkapnya.
Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan bahwa pemberian Persetujuan KKPRL dilakukan secara ketat, khususnya bagi aktivitas yang berisiko tinggi. Segala aktivitas yang memiliki risiko tinggi, akan diberikan persetujuan kegiatan di ruang laut, jika dinilai telah sesuai dalam aspek kajian lingkungan.[***]