Pingintau.id,- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengajak seluruh masyarakat Indonesia gotong royong berkontribusi menahan kencangnya laju pemanasan global dan perubahan iklim.
Menurutnya, fenomena perubahan iklim semakin mengkhawatirkan serta memicu dampak yang lebih luas. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim, dari suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi, hingga maraknya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia.
“Perubahan iklim menjadi isu yang harus diperhatikan karena ini memiliki dampak dan resiko yang besar terlebih pada keberlangsungan makhluk hidup dan generasi di masa mendatang. Karenanya, perlu aksi pengendalian perubahan iklim yang konkret dari seluruh lapisan masyarakat,” ungkap Dwikorita Karnawati dalam puncak peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-73 di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang, Sumatera Barat, belum lama ini.
Sebagai informasi, peringatan HMD yang jatuh pada 23 Maret merupakan tanggal yang mengacu pada konvensi meteorologi 23 maret 1950. Konvensi tersebut merupakan rangkaian panjang dari berdirinya badan cuaca di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa, yaitu Organisasi Meteorologi Dunia ( World Meteorological Organization, WMO). Peringatan HMD tahun 2023 ini mengambil tema “the future of weather, climate, and water across generations” atau “masa depan cuaca, iklim, dan air untuk lintas generasi”.
Dwikorita menyebut bentuk kontribusi yang dapat dilakukan dapat dimulai dari hal-hal yang terlihat gampang dan sepele. Mulai dari tidak membuang sampah sembarangan, menerapkan reduce, reuse, recycle (3R), menanam tanaman atau pohon, berjalan kaki, bersepeda, atau gunakan transportasi umum, dan hemat energi.
“Khusus sampah, dampaknya sangat besar karena memberikan kontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca dalam bentuk emisi metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Karenanya, meskipun terlihat sepele, namun langkah kongkrit itu berkontribusi besar dalam menahan laju perubahan iklim,” imbuhnya.
Dwikorita memaparkan, BMKG mencatat secara keseluruhan, tahun 2016 merupakan tahun terpanas untuk Indonesia, dengan nilai anomali sebesar 0.8 °C sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020. Tahun 2020 sendiri menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.7 °C, dengan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.6 °C.
Sebagai perbandingan, informasi suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization. Laporan terbaru WMO dalam State of the Climate 2022 yang terbit awal tahun 2023 lalu menyebutkan bahwa tahun 2022 menempati peringkat ke-6 tahun terpanas dunia. 2015-2022 menjadi 8 tahun terpanas dalam catatan WMO. Pada awal Desember 2020 juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama), dengan tahun 2020 sedang on-the-track menuju salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.
Secara berurutan tahun-tahun tersebut adalah: 2016, 2020, 2019, 2017, 2015, 2022, 2021, 2018. Tahun 2016 merupakan tahun dengan suhu global terpanas sepanjang catatan WMO dengan anomali sebesar 1,2°C terhadap periode revolusi industri. Kondisi terpanas itu dipicu oleh tren pemanasan global yang diamplifikasi oleh kejadian anomali iklim El Nino.
Kondisi ini pula yang mengakibatkan lebih cepat mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Bila awalnya luasan salju abadi sekitar 200 km persegi, maka kini hanya menyisakan 2 km persegi atau tinggal 1% saja. Salju dan es abadi di Puncak Jaya sendiri merupakan keunikan yang dimiliki Indonesia, mengingat wilayah Nusantara beriklim tropis.
Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan bahwa akibat perubahan iklim, kejadian-kejadian ekstrem lebih kerap terjadi, terutama kekeringan dan banjir. Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50 – 100 tahun, maka kini rentang waktu menjadi semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi atau durasi yang semakin panjang.
“Contoh nyata di Indonesia adalah kemunculan siklon tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) April 2021 lalu. Padahal fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi terbentuk di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi,” paparnya.
“Yang terbaru adalah bencana tanah longsor yang terjadi di Natuna yang mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia. Jika situasi ini terus berlanjut, maka Indonesia akan jauh lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materiil namun juga korban jiwa,” tambah Dwikorita.
Dalam kesempatan yang sama, Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG Dodo Gunawan mengatakan bahwa dampak perubahan iklim tidak hanya sebatas cuaca ekstrem, mencairnya salju di gunung, krisis air bersih, atau meningkatnya wabah penyakit. Lebih dari itu, kata dia, perubahan iklim membawa kerugian ekonomi dan juga politik.
“Intensitas bencana alam akan semakin sering terjadi. Sedangkan bencana alam itu sendiri erat kaitannya dengan kemiskinan. Tidak sedikit rumah tangga yang jatuh ke lingkaran kemiskinan akibat bencana alam. Apabila kondisi ini terus dibiarkan terjadi, bukan tidak mungkin tujuan mencapai Indonesia bebas dari kemiskinan semakin jauh,” ujarnya.
Dodo mengungkapkan, tidak ada satupun negara yang aman dari efek percepatan perubahan iklim. Maka dari itu, Indonesia harus melakukan berbagai aksi mitigasi dan adaptasi secara komprehensif dan terukur guna menahan laju perubahan iklim.
“Mitigasi dan adaptasi ini menjadi urusan bersama. Tidak hanya pemerintah, namun juga semua sektor harus terlibat mulai dari swasta dan dunia usaha, akademisi, pers/media, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum. Semua harus terlibat tanpa terkecuali,” imbuhnya.
BMKG Bangun Tower Gas Rumah Kaca
Sementara itu, dalam peringatan HMD ke-73, BMKG juga meresmikan Tower Gas Rumah Kaca (GRK) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global atau Global Atmosphere Watch (GAW) di Bukit Kototabang, Sumatera Barat. GAW Kototabang sendiri adalah salah satu dari 30 stasiun jaringan GAW global Badan Meteorologi Dunia (WMO). Data GRK yang dipantau dari Bukit Kototabang menjadi kontribusi penting sebagai representasi pemantauan dari wilayah ekuatorial tropis.
Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan, Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan GRK setinggi 100 meter tersebut dilengkapi dengan sensor meteorologi yang berfungsi melakukan pemantauan di tiga titik ketinggian yaitu masing-masing 30 meter, 70 meter, dan 100 meter. Pemantauan GRK dari tower akan memberikan gambaran profil GRK pada ketinggian yang berbeda dan menjadi wujud kontribusi Indonesia pada umumnya dan BMKG pada khususnya dalam program IG3IS.
“IG3IS yang diluncurkan oleh WMO di tahun 2018 untuk memberikan profil tren GRK secara menyeluruh dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Peningkatan kapasitas pemantauan GRK melalui IG3IS ini akan digunakan lebih lanjut dalam mengembangkan pemodelan untuk emisi GRK sebagai informasi komplementer inventarisasi GRK nasional, utamanya untuk estimasi global stocktake yang mewujudkan salah satu target dari Kesepakatan Paris di tahun 2030,” pungkasnya. (***).