Pingintau.id, Salah satu krisis dan tantangan yang dihadapi di tingkat global saat ini adalah hilangnya keanekaragaman hayati atau biodiversity lost. Untuk mengatasi tantangan tersebut, kolaborasi antarperiset di tingkat global sangat diperlukan.
Indonesia melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menginisiasi platform kolaborasi antarperiset, melalui Global Biodiversity Research and Innovation Platform (GBRIP). GBRIP mendorong kolaborasi untuk saling berbagi infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan dalam riset dan inovasi keanekagaragaman hayati.
Kerangka kolaborasi ini disusun oleh BRIN bersama negara anggota G20, melalui pelaksanaan 2nd G20 Research and Innovation Initiative Gathering (2nd G20 RIIG), di Hotel JW Marriott, Jakarta, Kamis (25/8).
“GBRIP membuka peluang kolaborasi dan saling berbagi ide, bagaimana penelitian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang terpelihara, yang didukung oleh fasilitasi dan infrastruktur yang layak, serta kekuatan pembiayaan,” ungkap Plt. Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN, Agus Haryono, selaku Chair G20 RIIG.
Upaya ini, lanjut Agus, akan mewujudkan ekonomi hijau dan biru berkelanjutan, yang menggabungkan strategi untuk mengatasi mitigasi dan adaptasi iklim.
Infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan, memainkan peran penting dalam memastikan keberhasilan penelitian dan inovasi. Namun kenyataannya, ketersediaan infrastruktur dan fasilitas penelitian bervariasi di setiap negara.
Untuk mendorong riset dan inovasi, serta pemanfaatan keanekaragaman hayati, tambah Agus, negara-negara anggota G20 perlu menyediakan akses infrastruktur dan alokasi dana yang setara.
“Keberadaan infrastruktur strategis, termasuk peralatan canggih dan pendanaan, menjadi input penting bagi pengembangan ekosistem riset yang mendorong output teknologi dan inovasi. Kami juga mendorong pemerataan akses infrastruktur, memastikan pendanaan pendukung, di mana pendanaan merupakan faktor pendorong untuk pelaksanaan penelitian,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Plt.Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Iptek BRIN, selaku Co-Chair G20 RIIG, menerangkan, saat ini sudah ada beberapa framework yang tersedia untuk berbagi infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan, seperti Group of Senior Officials on Global Research Infrastructure (GSO on GRI), Global Research Collaboration for Infectious Diseases Preparedness (GLOPID-R), European Research Infrastructure (ERI), Global Biodiversity Information Facility (GBIF), dan ASEAN Center For Biodiversity (ACB). Namun, masing-masing memiliki misi dan fokusnya sendiri.
Dikatakan Edy, belum ada kerangka kerja yang secara khusus berfokus pada sharing infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan untuk konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan. Oleh karena itu, RIIG mengusulkan GBRIP sebagai kerangka kerja untuk mengisi kesenjangan ini.
“GBRIP menawarkan platform yang lebih terfokus untuk keanekaragaman hayati di setiap tingkatan, yaitu ekosistem, spesies, dan genetika. Platform ini merekomendasikan mekanisme infrastruktur, fasilitas, dan sharing pendanaan untuk penelitian bersama dan peningkatan kapasitas,” katanya.
Hal ini juga memberikan kesempatan bagi negara maju dan berkembang untuk melaksanakan tanggung jawab dalam konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, dan pembagian keuntungan yang adil dan merata dari pemanfaatan sumber daya hayati, mengikuti undang-undang dan kebijakan nasional.
Lebih rinci Edy membeberkan, ada lima tema penelitian bersama yang disepakati dalam pertemuan 1st G20 RIIG lalu. Pertama, adopsi dan implementasi teknologi dan inovasi baru untuk ekonomi hijau dan biru. Kedua, konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan. Ketiga, manfaat yang adil dan merata dari pengembangan bioteknologi farmasi dari keanekaragaman hayati asli.
Keempat, dampak aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati dan aspek sosial ekonomi pemanfaatannya. Dan terakhir, energi baru dan terbarukan untuk menjamin akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern bagi semua.
Selain itu, negara-negara anggota G20 didorong untuk membuka fasilitas penelitiannya melalui skema GBRIP. “Pelatihan dan pengembangan kapasitas terbuka untuk semua negara, tetapi prioritas diberikan kepada akademisi muda dari negara-negara anggota G20,” tambah Edy.
Negara-negara anggota G20 diharapkan dapat menyediakan sumber daya untuk pelatihan dan peningkatan kapasitas, serta memastikan mobilitas yang lebih mudah bagi para peneliti untuk mengikuti pelatihan, fellowship, dan pertukaran peneliti di antara negara-negara anggota G20.
Sebagai informasi, pelaksanaan 3rd G20 RIIG dijadwalkan akan digelar pada bulan Oktober 2022, untuk melanjutkan diskusi dan beberapa resolusi yang dapat dilakukan, sesuai kesepakatan pada 1st dan 2nd G20 RIIG.
Hasil dari 1st dan 2nd G20 RIIG akan dirumuskan sebagai key deliverables pada G20 Ministerial Meeting on Research and Innovation, yang rencananya akan dihelat pada Oktober 2022 .
Pada kesempatan ini, Agus juga mengundang negara-negara anggota G20, untuk berpartisipasi pada pada Indonesia Research and Innovation Expo (INARIE) 2022, yang akan digelar pada 27 hingga 30 Oktober 2022, di Gedung Innovation Convention Centre, Cibinong .[***]