Cerita Menteri Kominfo dari Labuan Bajo, sejarah & keberadaan Komodo jadi cermin ketangguhan adaptasi & resiliensi yang bisa digunakan hadapi digitalisasi

Pingintau.id, Labuan Bajo yang terkenal dengan keindahan, menawarkan lebih dari sekadar pemandangan yang memesona. Lebih dari itu, jika melihat lebih dekat pada masyarakat, alam, dan budaya ada banyak pelajaran yang bisa diambil berkaitan dengan  keberadaan fauna endemik Komodo.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menyatakan sejarah dan keberadaan Komodo akan menjadi cermin ketangguhan adaptasi dan resiliensi yang bisa digunakan menghadapi digitalisasi.

“Itu bisa mengajari kita banyak hal tentang kekuatan, ketahanan, atau apa yang saya sebut sebagai kemampuan bertahan hidup adaptif. Bagi saya, Labuan Bajo lebih dari sekadar tempat indah di Indonesia. Tempat ini bersama penduduknya, endemik Komodo yang menyerupai Naga dan banyak warisan budayanya,” tegasnya dalam Gala Dinner Pertemuan Ketiga Digital Economy Working Group (DEWG) Presidensi G20 Indonesia, di Puncak Waringin, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Rabu (20/07/2022) malam.

Menteri Johnny menjelaskan keberadaan Komodo, hewan serupa naga yang pertama kali diakui secara global pada tahun 1910. Menurutnya, sejak itu ilmuwan di seluruh dunia telah mendalilkan bagaimana makhluk purba yang hidup di sekitar bumi 83,9 juta tahun lalu, masih bertahan. Fosil hidup dengan keindahan dan ukuran yang lebih besar menguasai alam Pulau Komodo dan daratan di sekeililingnya.

“Dinosaurus yang masih hidup. Ada banyak teori di luar sana tentang bagaimana Komodo yang menyerupai Naga masih hidup di antara kita, namun tetap menjadi fakta bahwa terlepas dari dunia yang menantang dan tantangannya, naga kehidupan nyata ini masih hidup dan masih menunjukkan kemampuan bertahannya sebagai predator puncak,” tuturnya.

Menkominfo menyatakan semangat adaptasi dan bertahan hidup yang ditunjukkan Komodo lebih dibutuhkan di zaman digital. Apalagi saat ini, setiap orang telah dan masih menghadapi dunia yang terus berubah serta tantangan yang mendorong manusia selalu beradaptasi dan bertahan.

“Contoh survivabilitas adaptif semangat lebih dibutuhkan di zaman digital. Di sini saya dapat mengatakan bahwa semangat seperti itu dibutuhkan juga di era digital saat ini,” tandasnya.

Dalam kisah Flores Barat dan sejarah Komodo purba, kemampuan beradaptasi dan bertahan hidup membutuhkan banyak waktu dan usaha. Oleh karena itu, Menteri Johnny menilai kolaborasi menjadi satu-satunya cara bertahan hidup agar dapat bertahan menghadapi tantangan digital saat ini dan masa depan.

“Saya bertanya kepada kita semua malam ini, bisakah kita bekerja secara individu? Pelan tapi pasti dan masih bertahan dari disrupsi digital? Saya yakin, secara individu kita hanya bisa berharap untuk dapat mengatasi waktu tapi tidak mampu beradaptasi. Karena arus digitalisasi terlalu cepat sehingga kita mengalami banyak proses evolusi. Kolaborasi adalah satu-satunya cara bertahan hidup, bersama-sama kita mengkatalisasi proses adaptasi sambil berpegangan tangan,” ajaknya.

Menkominfo menegaskan kolobarasi merupakan langkah yang relevan dengan upaya kolektif untuk membawa dunia beradaptasi dan bertahan dalam transisi ke era digital.

“Saya sangat berharap melalui pertemuan Kelompok Kerja Ekonomi Digital yang ketiga ini dan yang akan datang, kita dapat bersama-sama memajukan adaptasi digital ke dalam kehidupan masyarakat,” ungkapnya.

Menteri Johnny menyatakan upaya meningkatkan kemampuan bertahan hidup selama disrupsi digital menjadi penting dan dapat diadaptasi dari situasi di Labuan Bajo.

“Saya harap sambutan singkat saya dapat melukiskan gambaran yang lebih bermakna tentang pengalaman kita semua selama di Labuan Bajo, Pulau Flores Barat,” ujarnya.

Menkominfo juga mengharapkan delegasi negara anggota G20 akan dapat mengikuti pertemuan DEWG selanjutnya di bulan Agustus yang berlangsung di Pulau Bali.[***]