Pingintau.id,- Analis Kebijakan Ahli Utama Direktorat Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi – DKRI BRIN, Santoso menyoroti permasalahan insentif fiskal pra dan pasca produksi karena permasalahan dalam pra produksi diantaranya regulasi belum sinergi dan konsisten, pengembangan industri farmasi mempunyai feasibility ekonomi rendah dan perizinan yang panjang.
Menurutnya sesuai dengan INPRES No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan maka kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan nasional itu sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan nasional.
Bahkan ungkapnya riset/pengembangan BBOT di setiap daerah kurang karena belum didukung industri, penetapan kebutuhan obat nasional belum akurat, dan fokus riset baru sebatas reformulasi.
Selain itu untuk meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat Kesehatan di dalam negeri dan ekspor, mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat dan alat kesehatan dan mendorong penguasaan teknologi dan inovasi dalam bidang farmasi dan alat kesehatan.
“Strategi Riset dan Inovasi Nasional bidang Kesehatan” dalam webinar “Penguatan Riset dan Inovasi Bahan Baku Obat untuk Kemandirian Nasional” yang dihelat oleh Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional (PRBBOT) Organisasi Riset Kesehatan (ORK), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN),” ungkapnya akhir pekan lalu dilansir dari laman brin.go.id.
Ia menambahkan, jika permasalahan pasca produksi meliputi minat penggunaan bahan baku obat lokal masih kecil dan penggunaan BBO buatan Indonesia untuk pasar obat dalam negeri pun tergolong kecil.
Hal ini disebabkan karena mahalnya harga bahan baku lokal dan membutuhkan riset, pengaturan ulang mesin dan proses perizinan yang cukup lama.
Selain itu mekanisme pengadaan belum optimal yang dalam hal ini besarnya nilai penundaan pembayaran dari faskes ke industri farmasi dan belum seluruh pesanan yang dibuat melalui e-procurement dapat dilayani oleh penyedia.
“Jumlah pengadaan melalui e-katalog kecil dimana kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengembangkan industri farmasi dalam negeri dari sisi pasar tidak akan memiliki pengaruh yang besar,” terang Santoso.
“Di samping itu, SDM yang memiliki kompeten di bidang obat tradisional terbatas termasuk jumlah SDM, sarana dan prasaran serta infrastruktur pendidikan dalam industri obat tradisional dinilai masih kurang dan dari 38 Politeknik Kesehatan seluruh Indonesia, hanya satu yang memiliki program studi khusus jamu obat tradisional. Belum masuk fornas dan para dokter belum dapat menjadikan obat herbal tersebut sebagai pilihan obat yang diresepkan kepada pasien juga merupakan permasalahan pasca produksi,” tambahnya.
Santoso juga menjelaskan terkait pendekatan tata kelola riset dan inovasi Obat Herbal Terstandarisasi (OHT) dan Fitofarmaka yang saat ini sudah dilakukan dimana diperlukan integrasi eabler (Sumberdaya Iptek), Integrasi Riset dan Inovasi, dan Integrasi Kebijakan (Kementerian/Lembaga, Pemda).
Langkah-langkah
Ada beberapa langkah untuk mempercepat riset dan inovasi OHT dan Fitofarmaka yaitu dengan menyusun prioritas riset fitofarmaka dan roadmap yang mengacu kepada penyakit sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia dengan mengintegrasikan kapasitas riset dan inovasi nasional dan kebutuhan sumberdaya dan kebijakannya (critical mass).
Kemudian melakukan pengembangan fasilitas CPOTB Full Aspect untuk produksi skala terbatas sediaan Fitofarmaka untuk uji praklinis/klinis dan produksi Fitofarmaka dengan menggunakan sistem maklon dan menyusun strategi penguasaan teknologi dengan memperhatikan kesiapan dan kemampuan industri nasional.[***]