Dari Makassar ke Layar Dunia

Pingintau.id,- Di atas geladak kapal Pinisi yang gagah melawan angin laut Pantai Losari, sekelompok manusia kreatif berkumpul. Bukan untuk syuting sinetron bajak laut atau buka lapak cilok, tapi demi satu misi  membahas masa depan ekonomi kreatif Indonesia.

Di atas kapal Pinisi itu juga terasa sekali, angin laut menerpa rambut yang makin menipis, kopi Toraja mengepul di tangan, dan di seberang.

Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, berdiri di tengah-tengah para konten kreator Makassar, seperti kapten kapal yang siap mengarungi samudera digital. Bedanya, bukan layar yang dikembangkan, tapi ide-ide dan sinergi. “Kreator konten itu bukan sekadar hobi. Ini profesi yang bisa menggerakkan ekonomi, bahkan ini sudah masuk daftar pekerjaan mulia sejajar dengan guru dan barista kopi susu.” katanya, penuh semangat, sambil melawan suara ombak dan notifikasi Instagram belum lama ini.

Begitulah suasana diskusi di atas kapal Pinisi di Pantai Losari yang digelar Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya. Diskusi ini bukan cuma ajang kumpul-kumpul, namun  juga jadi simbol ekonomi kreatif diangkat dari dasar laut ke permukaan layar HP, dengan harapan bisa menyeberang samudera digital menuju kemajuan bersama.

Dulu, jika ngonten dianggap kerjaan iseng sambil nunggu cucian kering, sekarang sudah beda cerita. Ngonten itu ibarat jadi chef yang masaknya bukan di dapur, tapi di timeline TikTok dan Instagram. Harus ada rasa, ada aroma, ada estetika, dan tentu saja ada engagement.

“Kita harus punya bargaining position,” ujar Menteri Teuku Riefky, yang entah kenapa waktu ngomong itu auranya mirip CEO startup.[he..he..he!].

Maksudnya, para konten kreator jangan mau dianggap remeh kayak sambel sachetan. Harus bisa tampil sebagai penggerak ekonomi, terutama di sektor kuliner, kriya, fesyen, fotografi, bahkan healing-healingan di desa.

Jangan salah, negara lain sebenarnya sudah duluan serius menggarap ini, sebut saja Korea Selatan, misalnya, dari drama sampai skincare-nya laku gara-gara konten digital.

Selain itu, yang lebih deket lagi dengan Indonesia,  Thailand, bisa bikin “Content Creator School” yang kurikulumnya serius banget, bisa bikin kita minder kalau cuma ngedit pakai aplikasi gratisan.

Makassar bisa dong bikin gebrakan serupa? “Ayo bikin asosiasi,” kata Pak Menteri. Ya, kayak Serikat Buruh, tapi isinya orang-orang yang pekerjaannya bikin orang ketawa atau mikir lewat layar.

Dengan asosiasi, para kreator bisa dapat pelatihan, perlindungan hukum, sampai mungkin asuransi kalau kena serangan netizen.

Rijal Djamal (podcaster): “Jangan cuma diundang buat acara, tapi juga diberdayakan. Saya mau kalau bisa ada Dinas Ekonomi Kreatif sendiri!”

Naufal (konten travel desa): “Setuju! Tapi tolong juga jaringannya, Pak. Masa saya lagi upload video view sawah, sinyalnya malah tenggelam duluan!”

Pak Menteri: “Wah, ini nanti kita kolaborasikan dengan Kominfo ya… supaya sinyal ikut healing ke desa!”

Kemenekraf juga punya program ASTA EKRAF. Bukan nama pelawak, ya, ini program yang serius menggarap potensi kreatif daerah dari desa ke digital. Harapannya sih, desa-desa yang dulu cuma terkenal karena rawon atau rendangnya, sekarang bisa viral karena kontennya.

Masalahnya, kadang yang viral itu malah konten prank pura-pura jadi tuyul. Nah, diskusi di Pinisi ini juga ngebahas pentingnya sensor dan etika. Bukan buat mengekang, tapi supaya konten bisa lebih mendidik, bukan malah bikin deg-degan netizen lansia.

Ekosistem ekonomi kreatif itu kayak kolam. Kalau airnya keruh, ikannya mogok berkembang biak. Tapi kalau dijaga bareng, bisa jadi tambak yang ngasilin cuan sambil bahagia. Maka dari itu, kolaborasi, pelatihan, wadah, dan sinyal (yes, sinyal!) jadi empat sekawan menuju ekosistem konten yang sehat dan produktif.

Makassar sudah mulai. Para konten kreator sudah naik ke atas Pinisi. Sekarang tinggal dorongan dan tindak lanjut dari semua pihak, biar kapal ini nggak cuma berlayar muter-muter di Losari, tapi juga bisa nyebrang ke samudera dunia digital global.[***]

Penulis: one/foto :ekrafEditor: one