Akad di Atas Laut, Pelaminan Bergoyang Ombak [Cinta Tak Kenal Jarak, KUA Pun Tak Kenal Darat]

Pingintau. id, -Di ujung laut yang tak bisa disapu pandang, saat jangkar perahu menyentuh lembut bibir dermaga kayu Pulau Kentar, dua sejoli bersiap mengarungi hidup bersama. Tapi sebelum mengarungi rumah tangga, mereka mengarungi lautan dulu dalam arti harfiah. Sebab cinta Zukri Ernanda dan Yulia Citra tak diikat di aula KUA ber-AC, melainkan di atas perahu yang juga berfungsi sebagai kantor pencatat nikah terapung.

Namanya juga Lantera Layanan Terapung. Tapi jangan bayangkan ini layanan yang sekadar terapung-apung kayak cinta lama yang belum move on. Ini serius, terkoordinasi, dan bahkan berhias pelaminan khas Melayu, lengkap dengan tabuhan gendang dan gong yang lebih nyaring dari suara deru ombak.

Akadnya? Khusyuk. Suasananya? Syahdu bercampur semilir angin laut. Dekorasi? Sederhana tapi berkelas, sekelas dengan perjuangan tim Kemenag Lingga yang harus menempuh berjam-jam perjalanan laut demi satu tujuan: mewujudkan cinta yang sah secara agama dan negara, meski terpisah pulau, walau terombang-ambing ombak.

Program Lantera ini bukan program iseng. Ia bukan semata-mata solusi teknis, tapi juga bentuk cinta negara kepada rakyatnya yang tinggal di pulau-pulau kecil. Seolah pemerintah ingin bilang. “Jangan khawatir, Nak. Walau kau jauh di seberang sana, negara tetap datang membawa surat nikah dan bimbingan pranikah.”

Di Kabupaten Lingga yang terdiri dari puluhan pulau, sebagian besar warga harus naik pompong, menunggu cuaca, bahkan menyewa perahu hanya untuk mengurus hal sederhana seperti pencatatan pernikahan. Tak sedikit yang akhirnya memilih jalan pintas nikah siri. Praktis, cepat, tapi konsekuensinya bisa seperti gorengan plastik: kelihatan gurih, tapi bikin perut sakit di kemudian hari.

Nah, di sinilah Lantera berperan sebagai superhero berjubah pelampung dan bersenjata buku nikah. Kepala Kemenag Lingga, Erman Zaruddin, tahu betul bahwa cinta tanpa legalitas bisa rawan. Maka ia dan timnya menyulap perahu menjadi KUA keliling lengkap dengan penghulu, meja pencatat, hingga tempat duduk pengantin yang goyangnya bukan karena grogi, tapi karena ombak.

Pernikahan yang dicatatkan negara itu seperti SIM bikin hidup legal. Dengan pencatatan resmi, perempuan punya hak, anak punya kepastian status, dan suami nggak bisa kabur kayak maling ayam. Ini penting. Terutama di daerah 3T tertinggal, terdepan, dan terluar, di mana akses sering kalah cepat dibanding kabar burung.

Oleh karena itu  tak heran, meski baru dimulai beberapa waktu lalu, Lantera sudah menjangkau 49 pulau. Bahkan, menurut Cecep Khairul Anwar dari Ditjen Bimas Islam, ini bukan sekadar inovasi daerah, tapi bisa jadi role model nasional dalam urusan layanan jemput bola atau lebih tepatnya jemput ombak.

Salah satu kunci sukses Lantera adalah kerjasama. Kepala desa ikut bantu jadwal. Tokoh agama ikut dampingi. Warga lokal pun kadang ikut bantu angkut logistik dan jadi saksi nikah. Ini bukan sekadar pelayanan, ini pesta kolaborasi.

Mereka tak cuma datang untuk mengesahkan cinta, tapi juga membawa penyuluhan, konsultasi, edukasi tentang pentingnya administrasi keagamaan. Semacam one stop floating service, bedanya bukan di mall tapi di tengah laut, bukan naik lift tapi naik perahu.

Dan jangan bayangkan semua ini berlangsung tanpa tantangan. Tim Lantera kadang harus bertarung dengan badai, bertemu dermaga seadanya, bahkan makan mie instan dingin karena tak ada dapur. Tapi semua itu terbayar saat mereka melihat sepasang pengantin tersenyum di atas pelaminan yang dihias seadanya, tapi penuh cinta dan keabsahan hukum.

Lantera bukan sekadar perahu. Ia adalah simbol  pelayanan publik tak boleh berhenti di batas peta.  Pernikahan tak boleh jadi eksklusif bagi mereka yang tinggal dekat kota. Negara hadir bukan hanya lewat regulasi, tapi juga lewat pelaminan yang bergoyang halus digoyang gelombang.

Dan jika ada yang bertanya.“Kenapa harus sampai segitunya? Nikah kan bisa di mana saja.”, jawabannya sederhana karena cinta memang bisa di mana saja, tapi negara harus hadir di mana pun warganya berada. Bahkan di ujung laut pun, negara tak boleh hilang arah.

Jadi, kalau suatu hari kamu menikah dan bertanya-tanya apa bentuk pelayanan publik yang penuh dedikasi, ingatlah perahu lantera yang mengarungi samudra demi selembar buku nikah. Sebab cinta itu luas, dan negara tak boleh cuma diam di daratan.

Selain itu, program lantera dari Kemenag Lingga bukan cuma inovasi, tapi bukti cinta tak bisa dibatasi jarak dan pelayanan publik tak boleh takut air asin.

Di wilayah kepulauan, tempat sinyal sering ngambek dan dermaga lebih langka dari warung kopi 24 jam, Lantera hadir sebagai jawaban nyata,  negara tidak absen, bahkan ketika pulau sepi pun, buku nikah tetap bisa sampai.

Ini bukan sekadar urusan pencatatan, tapi soal keadilan. Soal memastikan setiap perempuan dan anak punya payung hukum, tak peduli tinggal di kota atau pulau terpencil yang bahkan Google Maps harus mikir dua kali buat nemuin lokasinya.

Lantera mengajarkan kita  melayani rakyat itu bukan soal gedung mewah atau AC dingin, tapi soal niat, keberanian, dan semangat mengarungi ombak demi sebuah tanda tangan sakral.

Karena pada akhirnya, negara yang hadir sampai ke ujung laut bukan sekadar negara, itulah negara yang benar-benar peduli.[***]

Penulis: one/kemenagEditor: one