Pingintau.id – Belum lama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja neraca perdagangan mengalami surplus kembali. Di periode Juni, surplus mencapai USD5,09 miliar. Dari total surplus itu, penopangnya adalah komoditas minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO), yakni mencapai 54 persen atau sebanyak USD2,74 miliar. Hal ini karena industri sawit menjadi perioritas.
Ekspor komoditas CPO melonjak 862,66 persen atau setara dengan USD2,46 miliar. Kondisi itu berbeda dengan bulan sebelumnya yang hanya mencatat surplus USD2,90 miliar, akibat larangan ekspor CPO dan turunannya pada 28 April–22 Mei 2022.
Belum lama menikmati buah dari moncernya kinerja ekspornya, pemerintah kembali memberikan pemanis kepada pelaku komoditas CPO. Tujuan pemanis itu jelas, mendongkrak ekspor produk kelapa sawit dan turunannya, yakni dengan menihilkan pungutan ekspornya.
Benar, pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 115 tahun 2022. Tujuan lahirnya PMK itu adalah untuk memompa ekspor sawit, harga tandan buah segar (TBS) yang tengah anjlok diharapkan turut terkerek.
Pembebasan pungutan ekspor untuk produk kelapa sawit dan turunannya diterapkan selama 1,5 bulan, mulai 15 Juli 2022 hingga 31 Agustus 2022. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pengenaan pungutan ekspor sebesar nol rupiah terhadap CPO dan turunannya bertujuan menormalkan lagi ekspor komoditas andalan tersebut.
Lahirnya PMK nomor 115/2022 merevisi PMK 103/2022 yang mengatur tarif pungutan untuk program percepatan ekspor flush out atas CPO beserta produk turunannya. Pembebasan tarif pungutan ekspor dilakukan berdasarkan usulan Sekretariat Komite Pengarah Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BLU BPDP) Kelapa Sawit.
Apa itu tarif pungutan terhadap komoditas CPO? Tarif pungutan dikenakan sebagai imbalan atas jasa layanan yang diberikan oleh BPDP Kelapa Sawit. Tarif pungutan ditetapkan berdasarkan batasan lapisan nilai harga CPO dengan mengacu pada harga referensi dari menteri perdagangan.
Dalam pertimbangan juga dijelaskan usulan tarif layanan BLU BPDP Kelapa Sawit telah dibahas dan dikaji oleh tim penilai sebelum dituangkan dalam PMK 115/2022. Regulasi itu hanya mengubah lampiran berisi perincian tarif pungutan ekspor CPO dan produk turunannya dari yang semula diatur dalam PMK 103/2022 menjadi USD0. Pembebasan tarif pungutan dilakukan terhadap ekspor 26 jenis produk CPO hingga 31 Agustus 2022.
Sementara itu, mulai 1 September 2022, ekspor semua jenis produk CPO akan dikenakan kembali pungutan kecuali tandan buah segar. Misal, pada CPO, tarif pungutan ekspor ditetapkan senilai USD55 hingga USD240 per ton, mengikuti pergerakan harga CPO.
Program percepatan ekspor atau flush out pada CPO dan produk turunannya awalnya diatur dalam Permendag 38/2022 dan hanya berlaku pada 8 Juni–31 Juli 2022.
Jaga Stabilitas Produksi
Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengoptimalisasi dan stabilisasi rantai produksi dan perdagangan komoditas CPO, mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, serta menjaga stabilitas produksi dan harga tandan buah segar (TBS) di level petani. Menteri Sri Mulyani kemudian menerbitkan PMK 102/2022 yang mengatur tarif bea keluar dalam rangka program percepatan ekspor CPO dan produk turunannya, serta PMK 103/2022 mengenai tarif pungutan ekspor oleh BPDP Kelapa Sawit.
Pada PMK 103/2022, diperinci tarif pungutan ekspor CPO dan produk turunannya yang berlaku pada 14 Juni–31 Juli 2022 serta mulai 1 Agustus 2022. Penurunan tarif pungutan dilakukan terhadap 19 dari 26 jenis produk.
Pada CPO, saat itu tarif pungutan ekspor pada 14 Juni–31 Juli 2022 ditetapkan senilai USD55 hingga USD200 per ton, mengikuti pergerakan harga CPO. Tarif pungutan akan naik berkisar USD55 hingga USD240 per ton mulai 1 Agustus 2022.
Selain CPO, sejumlah produk yang mengalami penurunan tarif pungutan ekspor di antaranya crude palm kernel oil (CPKP), crude palm olein, crude palm stearin, crude palm kernel olein, dan crude palm kernel stearin. Dari gambaran itu, puasa pungutan ekspor sesuai dengan yang diatur melalui PMK 115/2022 terhadap produk kelapa sawit dan turunannya hanya berlaku 1,5 bulan, mulai 15 Juli 2022 hingga 31 Agustus 2022.
Setelah percepatan ekspor CPO tercapai dalam 1,5 bulan, pemerintah akan menerapkan tarif pajak ekspor yang bersifat progresif untuk komoditas itu. Menteri Sri menjelaskan, dana yang terkumpul dari pungutan ekspor komoditas sawit dan turunannya akan dikumpulkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Pemerintah, melalui BPDPKS, akan mendapatkan pendanaan untuk program stabilisasi harga minyak goreng sawit hingga penerapan program biodiesel. Pada kesempatan berbeda, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu meyakini, pungutan ekspor komoditas sawit sebesar nol rupiah tidak akan memengaruhi penerimaan negara yang tercatat mengalami pertumbuhan tinggi.
Data Kemenkeu mencatat pendapatan negara hingga 30 April 2022 mencapai Rp853,6 triliun atau tumbuh 45,9% secara tahunan (year-on-year). Pencapaian itu didukung dari sisi penerimaan pajak sebesar Rp676,1 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp177,4 triliun.
Merespons kebijakan baru tersebut, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Eddy Martono menilai, keputusan menggratiskan pungutan ekspor sawit selama 1,5 bulan merupakan kebijakan yang baik, kendati eksportir butuh waktu lebih panjang. Dia mengatakan, masih banyak hambatan dalam melakukan ekspor CPO dan turunannya, salah satunya keterbatasan kapal pengangkut.
Oleh karena itu, Eddy meminta, setidaknya peraturan terbaru tersebut diikuti dengan kemudahan ekspor sehingga CPO bisa segera keluar dan tangki dapat kembali kosong. Berdasarkan data Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), pada tanggal mulai berlaku kebijakan tersebut, harga rata-rata TBS petani swadaya di 22 provinsi terpantau bergerak naik menembus Rp1.027 per kilogram (kg).
Pada 16 Juli 2022, harga TBS kembali naik perlahan jadi Rp1.084 per kg. Bila membandingkan dengan harga di 14 Juli 2022, harga TBS kala itu di angka Rp916 per kg. Artinya, dalam dua hari harga sudah bergerak naik Rp168 per kg.
Padahal, normalnya harga TBS petani Rp3.500–4.500 per kg. Harga TBS petani swadaya tertinggi per 16 Juli 2022 berada di Riau yakni Rp1.200 per kg, disusul Sumatra Utara, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Papua, dan Sulawesi Tengah, sebesar Rp1.150 per kg.
Terlepas dari semua itu, penurunan pungutan ekspor CPO dan turunannya menjadi kabar baik karena akan memberi insentif bagi eksportir. Kebijakan itu juga bisa untuk mendongkrak posisi tawar dengan pembeli sehingga produk dalam negeri dapat lebih murah dari harga internasional.
Tak dipungkiri, kebijakan itu juga dikritik karena hanya berlaku sekitar 1,5 bulan, sehingga tergolong sempit bagi eksportir. Namun, yang jelas adanya kebijakan itu minimal jadi pemanis untuk menggenjot komoditas unggulan negara untuk memanfaatkan momentum meraih cuan di tengah belum stabilnya perekonomian dunia.(***)