Pingintau.id – Semua orang berhak masuk Islam termasuk yang
tidak bisa bicara alias bisu, namun bagaimana cara dia mengucapkan Syahadat.
Seseorang yang bisu juga memiliki hak yang sama untuk memeluk Islam dan bersyahadat seperti orang lain, namun bagaimana caranya.
Apalagi Syahadat adalah salah satu langkah pertama dalam memeluk agama Islam.
Jadi bagi orang yang tidak dapat berbicara atau bisu, bagaimana tata cara syahadatnya?
Sebenarnya dalam Islam, orang bisu yang ingin masuk Islam dapat mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasa isyarat.
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi, dalam kitab Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, bahwa jika bahasa isyaratnya dapat dimengerti, maka keislamannya langsung dinilai sah tanpa harus menunggu melaksanakan shalat terlebih dahulu.
Namun jika bahasa isyaratnya tidak dapat dimengerti, maka diwajibkan mengerjakan shalat untuk keabsahan keislamannya.
Berikut perkataan Imam Nawawi dalam kitab Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, berikut;
فرع: ويصح اسلام الأخرس بالاشارة المفهمة وقيل لا يحكم باسلامه الا اذا صلى بعد الاشارة وهو ظاهر نصه في الام والصحيح المعروف الاول وحمل النص على ما اذا لم تكن الاشارة مفهمة
“Masalah cabang; dinilai sah keislaman orang yang bisu dengan menggunakan bahasa isyarat yang dapat dimengerti. Dalam pendapat lain dikatakan bahwa keislamannya tidak diakui kecuali dia melaksanakan shalat setelah berikrar dengan bahasa isyarat. Ini adalah zahir pendapat Imam Syafi’i yang terdapat dalam kitab al-Umm. Pendapat yang benar dan dikenal adalah pendapat yang pertama. Sementara pendapat Imam Syafi’i itu mesti dipahami dalam konteks ketika bahasa isyarat tidak dapat dimengerti.”
Berdasarkan pendapat Imam Nawawi, keislaman orang bisu yang mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan bahasa isyarat yang dapat dimengerti adalah sah dan diterima. Hal ini didasarkan pada kaidah fikih al-masyaqqah tajlibut taysir (kesukaran dapat melahirkan kemudahan). Orang bisu tidak dapat mengucapkan dua kalimat syahadat secara lisan karena keterbatasannya, maka ia diperbolehkan menggunakan bahasa isyarat sebagai pengganti.
Sedangkan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa keislaman orang bisu tidak diakui kecuali setelah melaksanakan shalat dinilai kurang tepat. Hal ini dikarenakan shalat adalah ibadah yang bersifat fardhu ‘ain, sedangkan keislaman adalah syarat sahnya ibadah. Oleh karena itu, keislaman seseorang tidak dapat bergantung pada pelaksanaan shalat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keislaman orang bisu yang mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan bahasa isyarat yang dapat dimengerti adalah sah dan diterima, tanpa harus menunggu pelaksanaan shalat terlebih dahulu. (***)