Pingintau.id – Hakim menjadi penentu dalam keadilan sehingga mereka harus memenuhi syarat yang dibutuhkan antara lain masalah prilaku.
Anggota Komisi Yudisial(KY) Mukti Fajar Nur Dewata menjelaskan hakim bersifat independen, artinya hakim tidak bisa dipengaruhi atau tidak boleh diintervensi siapapun agar keadilan benar benar adil.
Begitu juga saat menjalankan tugasnya, hakim tidak hanya berdasarkan ketentuan hukum, tapi perilakunya harus sesuai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
“Tidak mudah menjadi hakim. Kalau pengacara seperti yang kita lihat di Instagram, misalnya Hotman Paris, menang kasus kemudian pesta. Namun, bila seorang hakim, bahkan tidak boleh masuk diskotik. Artinya perilaku hakim harus di atas rata-rata standar umum. Untuk itu, KY ada untuk menjaga perilaku hakim,” jelas Mukti, dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Rabu (13/9/2023).
Untuk menjaga konsep tersebut diterjemahkan menjadi tiga.
Pertama, pengawasan. Konsep ini yang paling populer baik di kalangan hakim maupun masyarakat.
Padahal menjaga martabat hakim tidak hanya dengan mengawasi bahkan lebih dari itu.
Karena hakim tidak cukup diawasi, harus juga dilindungi.
Selanjutnya, kata dia, konsep kedua tersebut disebut advokasi, dan paling tidak populer.
Bahkan banyak hakim yang tidak tahu. Hakim perlu dilindungi supaya tidak diintervensi, tidak diancam, ditekan, dan tidak diiming-imingi saat menjalankan tugas.
“Hakim kalau kasus besar pasti ada tekanan. Untuk itu, KY perlu memberikan perlindungan, misalnya dalam kasus Sambo. Kita awasi sekaligus kita lindungi, jangan sampai ada tekanan kiri kanan. Hakim kalau ada ancam atau tekanan, mohon untuk lapor ke KY.
Masyarakat apabila melihat ada hakim diintervensi, lapor ke KY,” ajak Mukti.
Selain itu agar dapat memberikan putusan yang adil, hakim perlu memiliki pengetahuan dinamika hukum yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, pada konsep ketiga, ada fungsi peningkatan kapasitas hakim berupa pelatihan.
Hal ini dilakukan untuk memberikan pemahaman dan ilmu baru, karena hakim tidak punya banyak kesempatan untuk belajar.
“KY tiap tahun memberikan pelatihan bagi para hakim. Disesuaikan dengan update dan dinamika hukum baru. Misalnya yang dulu perkara tanah biasa, sekarang ada mafia tanah. Dulu perdagangan kasus biasa dalam bentuk tatap muka, sekarang perdagangan by digital,” beber Mukti.
Ia menambahkan, persoalan hukum atau peradilan yang terus berkembang menjadi persoalan bangsa Indonesia. Bahwa 60 persen masalah negara saat ini adalah masalah hukum. Ekonomi bisa berjalan dengan cepat jika penegakan hukum terselesaikan. Dengan melihat persentase permasalahan hukum tinggi, KY tidak mungkin bekerja sendiri. Perlu bantuan aparat penegak hukum, media, dan pemerintah daerah (pemda).
Pemda mengedukasi masyarakat, jika ada permasalahan hukum selesaikan di peradilan, jangan main hakim sendiri. KY tidak mungkin bisa mengawasi ribuan peradilan. Pada kesempatan ini Mukti meminta komponen masyarakat untuk ikut melindungi lembaga peradilan sehingga 60 persen persoalan hukum bisa diselesaikan.
“Memang tidak mudah. Tapi bangsa yang besar masyarakatnya percaya hakim, hukum, dan peradilan. Tidak apa-apa bersandar, tapi jangan lelah mencari keadilan,” pungkas Mukti.(***)