Pingintau.id- NEW YORK dilanda banjir bandang kemarin akibat hujan ekstrem yang dibawa Badai Ida hingga dikeluarkan status darurat banjir bandang untuk pertama kalinya. Badai Ida sebelumnya melanda kawasan selatan Amerika Serikat, lalu bergerak ke arah utara
Walikota New York City Bill de Blasio menggambarkan banjir dan cuaca ini sebagai “peristiwa cuaca bersejarah“. Berbagai rekor terpecahkan, seperti terjadi curah hujan terbanyak dalam satu jam dibandingkan semua waktu sejak 1800an di Manhattan.
Hujan yang terjadi dengan sangat deras mampu membuat pergerakan di Big Apple terhenti dalam waktu yang cepat. Hujan ekstrem juga yang menjadi penyebab banjir mematikan di Jerman dan berbagai wilayah di Tiongkok baru-baru ini.
Sebuah penelitian baru di Jerman memperkuat pengetahuan tentang pengaruh perubahan iklim terhadap keparahan banjir di tahun ini dan tahun-tahun mendatang. Rekor curah hujan akan 1,2 sampai 9 kali lebih berpotensi memicu banjir mematikan karena perubahan iklim yang disebabkan manusia.
Pengajar Columbia Climate School membagikan sebuah utas berisi video banjir dari berbagai lokasi di New York dengan caption “Infrastruktur kita tidak siap untuk perubahan iklim”. Dengan kejadian ini, apakah Amerika Serikat, Jerman, Tiongkok, dan dunia akan bersiap menghadapi perubahan iklim?
Persiapan yang harusnya sudah dilakukan oleh para petinggi negara adalah mengakui bahwa yang terjadi saat ini adalah Krisis Iklim. Berbagai fenomena alam mematikan ini harus dilihat sebagai sebuah masalah kedaruratan dan mendapat penanganan layaknya krisis, seperti yang terjadi saat pandemi COVID-19.
Krisis iklim tidak akan menunggu kita siap untuk menghadapinya.
Hal yang kini diperingatkan oleh para ilmuwan adalah semakin menghangatnya Bumi akan semakin menambah frekuensi dan intensitas hujan. Dalam laporan IPCC disebutkan bahwa perubahan iklim mempengaruhi siklus air dan pola curah hujan.
Mengutip Grits, badai adalah fenomena alam. Tetapi, perubahan iklim seperti menghangatnya suhu dan kenaikan air laut membuat badai seperti Badai Ida jauh lebih merusak. Badai seperti ini diprediksi akan lebih berbahaya.
Untuk mengurangi dampak Krisis Iklim, para pemimpin negara harus dengan segera menjalankan kebijakan mengurangi gas emisi rumah kaca yang menjadi pemicu terbesar meningkatnya suhu Bumi.
Secara teori, negara-negara di dunia telah membuat target untuk mengurangi emisi mereka dengan tujuan menekan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius. Amerika Serikat menargetkan pemangkasan emisi 50-52% pada 2030, sedangkan Tiongkok menargetkan karbon netral sebelum 2060. Tapi, menurut Senior Climate and Energy Policy Officer Greenpeace China Li Shuo, apa yang dilakukan kedua negara tersebut masih sangat jauh untuk mencapai tujuan mereka.
“Sejauh ini tidak ada pihak yang menempatkan kebijakan konkret di balik tujuan ini. Iklim tidak akan tertipu oleh target besar jika hanya di atas kertas,” ujar Li Shou untuk Mongabay.
Kita tidak memiliki banyak waktu untuk tawar-menawar dengan Krisis Iklim. Hal lainnya yang harusnya bisa segera dilakukan adalah mengurangi ketergantungan dunia pada industri ekstraktif untuk menghasilkan energi kotor dan beralih ke energi terbarukan.
Dalam konteks Indonesia, seberapa besar potensi energi terbarukan yang kita miliki?
Berdasarkan data yang dikelola oleh Katadata tahun 2021, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sebesar 417,8 gigawatt. Namun, tidak ada data yang jelas berapa persen dari potensi ini yang sudah termanfaatkan dengan baik. Krisis Iklim harusnya menjadi pemantik agar pemerintah segera mengelola potensi energi terbarukan dengan maksimal.
Renewable Energy Campaigner Greenpeace Indonesia Satrio Swandiko Prilianto mengatakan Indonesia perlu meningkatkan target energi terbarukan dan melakukan pengembangan dalam penentuan harga. Hal ini bisa dimulai dengan mengeluarkan proyek-proyek energi fosil dalam pipeline dan mencabut subsidi bagi energi fosil dan dialihkan ke energi terbarukan.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah tidak dapat mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) sendirian karena biaya yang sangat besar, tentu pemerintah dapat membuat perubahan besar pada sistemnya dan menjadi pemain kunci dalam perubahan ini. Karena biaya dari kelambanan dalam bertindak akan jauh lebih besar.
Perubahan pola hidup masyarakat saja tidak cukup. Perlu ada kebijakan konkret yang mampu mengubah cara kita berinteraksi dengan energi secara cepat dan dalam skala besar. Menjalankan kebijakan transisi energi dan melepaskan diri dari energi kotor batubara akan menjadi tanda jika Indonesia benar-benar ingin mencapai komitmen iklimnya.
Target net-zero Indonesia yang masih di tahun 2060 dan business as usual dengan masih memberi tempat untuk energi kotor seperti batubara hanya akan membahayakan dampak Krisis Iklim bagi anak cucu kita.
Salam hijau damai,
Greenpeace Indonesia