Sumsel  

Destinasi Lawang Borotan jadi Saksi Dukungan Seniman Palembang bagi Ratu Sinuhun

Pingintau.id  — Sore itu, Sabtu 15 November 2025, udara di Lawang Borotan terasa berbeda. Lampu-lampu panggung baru saja dinyalakan, deretan kursi tertata rapi, dan suara alat musik mulai terdengar dari sisi belakang tenda utama. Di antara para panitia, mahasiswa magang, dan para seniman yang mondar-mandir menyiapkan malam pembukaan Pekan Seni 2025 yang akan dilaksanakan Senin (17/11/2025), ada semacam energi yang sulit dijelaskan: antusias, hangat, sekaligus penuh harapan dan kebersamaan.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP), M. Nasir, Sabtu (15/11)nterlihat berdiskusi dengan Sekretaris DKP Faldy dan Ketua Panita Pelaksana Pekan Seni 2025, Cheirman serta Ketua program Irfan Kurniawan bersama anggotanya, M Fitriansyah. Acara ini bukan sekadar festival. Bagi mereka, Pekan Seni adalah ruang besar untuk mempertemukan seniman lintas generasi, lintas disiplin, dan lintas latar budaya.
Tampak juga beberapa ketua komite seperti Ketua Komite Seni Rupa Joko Susilo, Ketua Komite Musik Mohamad Abdullah. Ketua Komite Teater Hasan, dan anggota komite tari Salwa Pratiwi, dan Ketua Komite Sastra Slamet Nugroho.

“Kami ingin Lawang Borotan benar-benar hidup. Lima hari ini bukan hanya untuk menonton, tapi untuk mengalami seni,” kata Nasir sembari menyapa tamu yang datang.

Pembukaan yang Menghidupkan Ruang

Ketika jarum jam mendekati pukul 19.30, direncanakan barisan tamu penting memasuki arena. Mereka akan disambut lantunan Syarofal Anam Al Mutmainah (Majelis Tauhid) yang kemudian mengiring mereka ke tempat duduk yang telah disediakan. Tak lama, Tari Tanggai membuka suasana dengan gerakan halus dan senyum ramah, seolah mengundang seluruh hadirin masuk ke dunia seni Palembang.

Malam itu, rangkaian demi rangkaian tampil tanpa jeda yang terasa: Indonesia Raya, Mars DKP, pembacaan doa, hingga kehadiran Tari Ratu Sinuhun yang disuguhkan oleh Sanggar Mei-Mei dengan koreografi Sonia Anisah Utami.

Salah satu momen paling hangat adalah ketika DKP menyerahkan penghargaan kepada Dr (K) Silo Siswanto, komposer Mars DKP, dan Martha Astra Winata, pelukis Ratu Sinuhun. Keduanya tampak terharu menerima apresiasi itu.

Malam pembukaan dilanjukan oleh deretan penampil lokal seperti Tanjak Kultur, Kawan Lamo, Rejung Pesirah, Bucu Band, hingga Gong Sriwijaya yang memaksa sebagian pengunjung bertahan sampai larut malam. Juga ada pembacaan puisi oleh Anto Narasoma yang berkolaborasi dengan Salwa Pratiwi (penari) dan pemain biola (Nazaruddin aias Caca)

Hari-Hari yang Dipenuhi Kelas, Lomba, dan Panggung Hiburan

Setiap pagi Pekan Seni 2025 dimulai seperti sekolah seni raksasa. Pada hari kedua, Komite Sastra mengisi ruang dengan suara para peserta yang membaca puisi, belajar intonasi, dan mencoba menggali perasaan mereka sendiri. Para narasumber seperti Anwar Putra Bayu dan Ervan Fajrulah memberi arahan dengan sabar, membuat peserta yang awalnya malu-malu akhirnya berani tampil.

Siang hari, giliran Komite Musik membawa suasana berbeda. Di bawah tenda, musisi seperti Iwan PAL 5 dan Ali Goik tampil bergantian. Lalu workshop tentang lagu “Ratu Sinuhun” menghadirkan diskusi yang hangat antara pencipta lagu, akademisi, dan budayawan.

Malamnya, Lawang Borotan kembali berubah wujud. Parade Hiburan menghadirkan musik, tari, puisi, dongeng, hingga band-band muda yang memadati panggung. Wajah-wajah anak muda tampak antusias, sebagian duduk lesehan, sebagian berdiri sambil bertepuk tangan mengikuti irama.

Seni Rupa dan Film Mengambil Alih Hari Ketiga

Rabu pagi, aroma cat dan kertas menyebar di area lomba seni rupa. Peserta—mulai pelajar hingga perupa muda—tampak serius menatap kanvas masing-masing. Sementara itu, Komite Seni Rupa yang dipimpin Joko Susilo mengarahkan jalannya kegiatan.

Siangnya, layar besar Komite Film menyala. Pemutaran film pendek dari berbagai komunitas menjadi jendela bagi isu-isu lokal, urban, dan personal. Setelahnya, peserta berkumpul untuk sharing session, berbagi gagasan, kritik, hingga mimpi menjadi pembuat film yang lebih matang.

Malamnya, parade hiburan kembali pecah dengan Fashion Show, Asterix, Gatot & Friends, Just To Night feat Mpit, dan berbagai band lainnya.

Setiap malam seperti menjadi festival kecil yang berbeda, dengan penonton yang selalu berganti namun tetap penuh.

Ketika Tari dan Teater Bertemu di Hari Keempat

Kamis pagi, giliran tari mengambil panggung. Lina Mukhtar menjelaskan filosofi Tari Sabung Ayam, lengkap dengan praktik gerak bersama peserta. Tawa dan tepuk tangan terdengar ketika peserta mencoba menirukan gerakan yang cukup kompleks.

Sementara itu, sore hari panggung teater diisi oleh Wong Gerot yang tampil dengan pantomim mereka. Tanpa dialog, mereka berhasil membuat penonton tertawa, hening, dan merenung. Workshop pantomim setelahnya membuat beberapa peserta sadar betapa sulitnya menyampaikan cerita tanpa suara.

Malam harinya, Lomba Hadro menjadi magnet baru. Suara rebana memenuhi ruang, diselingi sambutan dan arahan juri, lalu ditutup dengan pengumuman pemenang yang disambut riuh.

Penutup yang Menghangatkan Hati

Jumat malam, Pekan Seni 2025 memasuki hari terakhir. Panitia sudah terlihat lelah, tetapi antusiasme penonton tetap tinggi. Sesudah Mars DKP dan Tari Kreasi Sanggar Kharisma membuka acara, satu per satu sambutan disampaikan.

“Acara ini bukan hanya milik DKP. Ini milik masyarakat Palembang,” ujar Nasir dalam sambutannya.

Puisi yang dibacakan Indah Rizky Ariani Mujyaer memberi warna tenang sebelum deretan band—Anak Magang, BSB, KPJ, Slankers, RMK, Skanax Boy, KKPP—menghidupkan malam terakhir.

Ketika jarum jam mendekati pukul 23.00, sebagian orang belum ingin pulang. Beberapa saling berfoto, beberapa berdiskusi, beberapa hanya duduk menikmati suasana penutup.

Lawang Borotan, Ruang Kreatif yang akan Kembali Berdenyut

Tidak ada satu pun dari lima hari itu yang sepi. Setiap detik seakan diisi oleh suara musik, langkah tari, diskusi seni, tawa peserta, dan tepuk tangan penonton.

Ketua Panpel Cheirman berkata,
“Kami ingin orang merasakan bahwa seni itu dekat. Bahwa Palembang punya ruang kreatif besar yang bisa dinikmati siapa pun.”

Dan selama lima hari itu, Lawang Borotan benar-benar menjadi ruang itu—ruang yang hidup, penuh, dan berdenyut oleh energi seni Palembang.