Ragam  

Riset Bioteknologi di Indonesia sudah Maju, Tapi Pakar Bioproses BRIN Sebut Soal Ini Jadi Biang Keroknya..

Pingintau.id, Acara Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture (SML) 2022 menjadi panggung bagi Bambang Prasetya. Dalam kesempatan tersebut, pria yang kini menjadi Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Teknologi Pengujian BRIN, menyampaikan kuliah ilmiah mengenai “Bioethic, Biosafety, dan Conformity Assesment untuk Percepatan Pemanfaatan Bioteknologi dalam Mendukung Ketahanan Pangan” di Auditorium Soemitro Djojohadikoesoemo, Jakarta, Selasa (23/8).

Menurut mantan Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN) 2012–2020 tersebut, ada tiga bidang ilmu yang akan mewarnai abad milenial, yaitu; IT, nanoteknologi, dan bioteknologi. Saat ini, untuk bidang IT dan nanoteknologi sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, sedangkan untuk bioteknologi masih tersendat.

Hal ini dikarenakan bioteknologi menyangkut hajat banyak makhluk hidup. Sehingga di situlah ada keengganan orang untuk mengembangkan teknologi ini, khususnya yang terkait rekayasa genetik. “Di indonesia pun demikian, regulasinya sekian lama berhenti juga. kalau yang mikroba terkait produk-produk olahan itu sudah biasa, sedangkan yang khusus tanaman, regulasinya baru lengkap di tahun 2020,” terangnya.

Sementara penelitian bidang bioteknologi sudah berjalan sejak tahun 2000an. Penelitian tersebut terhambat dalam hilirisasi karena belum adanya regulasi yang mendukung. Namun demikian, saat ini, regulasi itu sudah mendukung, Maka dari itu, Bambang mendorong para peneliti untuk tidak perlu ragu-ragu lagi melakukan riset dan dihilirisasi kepada masyarakat.

Pakar bidang bioproses tersebut mengatakan penggunaan dan pemanfaatan bioteknoligi tidak hanya meningkatkan produktifitas. Akan tetapi juga berkontribusi terhadap pengelolan lingkungan dan keanekaragaman hayati. “Sepanjang perjalanan penggunaan bioteknoligi tidak hanya meningkatkan produktifitas tapi juga kontribusi terhadap lingkungan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Bambang menyebutkan bioteknologi tanaman pangan yang telah dikembangkan sejak 1996 hingga 2018, telah mampu meningkatkan produktivitas tanaman sebesar 822 juta ton senilai 225 miliar US$, dan melestarikan keanekaragaman hayati dengan menyelamatkan 231 juta hektar lahan. Selain itu juga menghemat 776ribu ton penggunaan pestisida dan bahan kimia pelindung tanaman lainnya, mengurangi emisi CO2, (Contoh Tahun 2018 sebesar 23 juta Ton, setara dengan asap 15,3 juta mobil dalam satu tahun), hingga membantu mengentaskan kemiskinan sekitar 16-17 juta petani kecil di beberapa negara berkembang.

Dengan demikian, lanjut Bambang, peranan Bioethics, Biosafety dan Conformity Assesment menjadi satu kesatuan dalam pemanfaatan bioteknologi yang saat ini tengah menjadi sorotan dalam upaya mendukung ketahanan pangan. “Dalam arti yang lebih luas, bioetika adalah penerapan etika dalam ilmu-ilmu biologis, obat, pemeliharaan kesehatan dan bidang-bidang terkait,” ungkap pria kelahiran Blitar, 23 Maret 1960.

Penulis Buku “Emas hitam dari Tanda Kosong Kelapa Sawit” tersebut, menyampaikan Bioethics (Bioetika) menjamin kelancaran adopsi berdasarkan pertimbangan etika/moral. Di sisi lain, Biosafety (Keamanan Hayati) yang diterapkan dalam pengembangan Produk Rekayasa Genetik (PRG) akan menjamin keamanan masyarakat sekaligus memberikan kepastian riset dan inovasi. Sedangkan, Conformity Assessment (Penilaian Kesesuaian) menjadi standar, akreditasi, dan kalibrasi untuk menjamin ketelusuran-saling pengakuan hasil analisa laboratorium dan green house.

“Kajian bioetika dan biosafety ini berangkat dari upaya memitigasi potensi dampak negatif dari teknologi sambil menuai manfaatnya. Ini merupakan tantangan utama yang dihadapi para pembuat kebijakan saat ini. Bagaimana menerapkan risk based management dengan memitigasi dan memanfaatkan peluang untuk mendapat hasil yang baik,” ujarnya.

Sejauh ini, kata Bambang, penerapan bioetika dan biosafety di Indonesia sudah berjalan. Hal itu didukung dengan adanya regulasi dan peraturan perundangan terkait bioetika. Salah satunya lahirnya PP No 21 Tahun 2005 Tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, PP No 29 tahun 2000 tentang perlindungan varietas tanaman yang memberikan batasan-batasan perlindungan dan juga adanya Keputusan Bersama Menristek, Menkes Dan Mentan Tahun 2004 Tentang Pembentukan Komisi Bioetika Nasional.

Di sisi lain, Bambang menjelaskan mengenai potensi pemanfaatan bioteknologi di Indonesia. Menurutnya, ini menjadi momentum yang bagus bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkan kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati melalui riset dan inovasi. Apalagi dengan adanya krisis pangan dan energi yang dialami negara-negara di dunia saat ini.

“Di balik kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati ini, ada genetik yang bisa diteliti dan dimanfaatkan menjadi bioteknologi. Ini momentum yang bagus sekaligus juga tantangan. Apalagi saat ini sudah ada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang memfasilitasi secara terbuka, serta regulasi yang mendukung. Sehingga negara tidak lagi tergantung terhadap impor, dan bisa menjadi pengekspor,” bebernya.

Bambang menjelaskan bioteknologi merupakan penerapan teknologi yang menggunakan sistem biologis, organisme hidup, atau turunannya, untuk membuat atau memodifikasi produk atau proses untuk penggunaan khusus. Salah satunya diterapkan melalui bioteknologi tanaman yang memberikan peluang di alam untuk mendapat varietas yang lebih unggul melalui mutagenesis, genom editing (GE), rekaya genetik (PRG).

“Bioteknologi telah memberikan manfaat untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas, mengurangi risiko gagal panen (karena serangan hama dan bencana alam), industri bersih, penangangan pencermaran, produksi bahan kimia adi, farmasi, biofuel, biomaterial, terapi kesehatan dan lainnya,” ungkapnya.

Lebih jauh, Bambang mengatakan saat ini banyak negara yang telah mencapai kedaulatan pangan adalah negara yang telah menguasai bio teknologi pangan. Selain itu, isu ini sangat tepat disampaikan saat ini mengingat kondisi global tengah menghadapi krisi pangan sebagai salah satu akibat dari adanya perang antara Rusia dan Ukraina.

“Dengan menerapkan bioteknologi yang sinkron antara riset sampai hilirisasi yang dilengkapi dengan peraturan yang lengkap. Bambang berharap Indonesia dapat mengekspor produk pertanian ke negara-negara lain,” pungkasnya.[***]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *