Perubahan Iklim : Krisis air jadi ancaman serius, BMKG ungkap dampaknya..

Pingintau.id, Jakarta – “Krisis air terjadi hampir di seluruh belahan dunia dan menjadi krisis global yang harus diantisipasi setiap negara. Tidak peduli itu negara maju atau berkembang. Karenanya, isu ini harus menjadi perhatian bersama seluruh negara tanpa terkecuali,” ungkap Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam The 10th World Water Forum Kick Off Meeting di Jakarta Convention Centre, Jakarta, belum lama ini.

Ia menyebutkan kondisi ini menjadi menjadi ancaman serius dan harus jadi perhatian seluruh negara. Menurutnya, perubahan iklim menyebabkan terganggunya siklus hidrologi, sehingga memicu terjadinya krisis air.

Acara yang dibuka Presiden Joko Widodo tersebut dihadiri oleh President of Water World Council Loic Fauchon, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri PUPR Mochamad Basoeki Hadimoeljono, Gubernur Bali I Wayan Koster, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak dan, Ketua Komisi V DPR RI Lasarus.

Dwikorita yang juga merupakan anggota Dewan Eksekutif World Meteorological Organization (WMO) menyampaikan bahwa ancaman krisis air akibat perubahan iklim ini sudah terlihat sangat jelas. Terus meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca yang berdampak pada meningkatnya laju kenaikan temperatur udara, mengakibatkan proses pemanasan global terus berlanjut, dan berdampak pada fenomena perubahan iklim.

Fenomena ini, kata dia, akan terus berlanjut apabila laju peningkatan emisi Gas Rumah Kaca tidak dikendalikan atau ditahan, dan menyebabkan semakin cepatnya proses penguapan air permukaan, sehingga mengakibatkan ketersediaan air semakin cepat berkurang di suatu lokasi belahan bumi, namun sebaliknya terjadi hujan yang berlebihan (ekstrem) di lokasi atau belahan bumi yang lain.

Ketersediaan air permukaan dan air tanah yang makin berkurang ini, lanjut Dwikorita, akan memengaruhi ketersediaan air bersih di berbagai belahan bumi. Selain itu, perubahan iklim yang ekstrem menyebabkan proses turunnya hujan menjadi ekstrem dan tidak merata. Di mana sebagian besar daerah di bumi memiliki curah hujan yang tinggi, sedangkan di daerah bagian lain tidak.

Dwikorita mencontohkan, WMO pada tahun 2022 yang lalu melaporkan bahwa kekeringan dan kelangkaan air telah melanda Eropa, Amerika Utara Barat, Amerika Selatan Barat, Mediterania, Sahel, Amerika Selatan, Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, Australia Tenggara dan berbagai wilayah lain di planet ini. Namun, pada saat yang sama, banjir juga terjadi Easton Sahil, Pakistan, Indonesia, hingga Australia Timur.

“Tidak ada perbedaan antara negara maju dan negara berkembang. Keduanya sama-sama menderita akibat kekeringan dan banjir. Jadi, sekali lagi kekeringan dan banjir adalah dampak yang sama akibat dari dari kencangnya laju perubahan iklim yang diperparah dengan kerusakan lingkungan” tuturnya.

Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan bahwa akibat perubahan iklim, kejadian-kejadian ekstrem lebih kerap terjadi, terutama kekeringan dan banjir. Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50 – 100 tahun, maka kini rentang waktu menjadi semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas atau durasi yang semakin panjang.

“Krisis air dan berbagai kejadian ekstrem tersebut dapat berdampak terjadinya krisis pangan di berbagai belahan dunia, sebagaimana yang telah diprediksi oleh WMO”, sambungnya

Karenanya, tambah dia, Indonesia mengajak seluruh negara-negara di dunia untuk memitigasi atau mengurangi peningkatan dampak serius dari perubahan iklim tersebut. Melalui World Water Forum 2024 yang akan digelar di Bali diharapkan mampu meningkatkan komitmen dan kerjasama pengelolaan air global secara berkelanjutan.

Sebagai informasi Kick Off Meeting atau persiapan pembukaan Forum Air Dunia ke-10 yang mengambil tema “Water for Shared Prosperity” tersebut digelar pada 15-16 Februari 2023 di Jakarta. Sedangkan puncak acara akan diselenggarakan di Bali pada 18-24 Mei 2024 yang akan dihadiri para ilmuwan dan pakar hingga para pemimpin negara, politikus, korporasi, NGO, media, dan masyarakat umum.

“Situasi Bumi saat ini menjadi alarm serius bagi kita semua. Kita perlu bekerja sama, berpikir bersama, dan memecahkan masalah bersama,” pungkas Dwikorita.[***]