Begini gambaran kondisi pola pengembangan Iptek di Indonesia kata Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN]

 

Pingintau.id,Jakarta – Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), I Gede Wenten memberikan gambaran kondisi pola pengembangan Iptek di Indonesia. Menurutnya kondisi pola pengembangan Iptek di Indonesia saat ini tengah mengalami krisis, hal ini disampaikan pada Webinar BRIN Insight Every Friday (BRIEF) yang mengusung topik Pola Pengembangan Iptek Nasional, Jumat (22/07).

Dikatakan Wenten, bangsa Indonesia harus mampu melihat gambaran Iptek di Indonesia secara jujur dan mau menerima autokritik terhadap kondisi ekosistem inovasi nasional. Berdasarkan kondisi itulah, perlu adanya perubahan yang mendasar terhadap kondisi Iptek di Indonesia. “Kita harus melakukan perubahan yang mendasar sekali dan itu yang saya sebut dengan rekonstruksi pola pengembangan Iptek,” kata Wenten.

Selain itu, untuk melakukan perubahan yang mendasar terhadap kondisi Iptek, diperlukan lesson learn dari negara lain yang sudah sejak lama telah mengembangkan inovasi berbudaya ilmiah. Semua upaya tersebut harus disertai dengan langkah konkrit guna mewujudkan pola pengembangan Iptek Nasional yang baik.

Gambaran umum Iptek Nasional menurut Wenten dapat dilihat dari beberapa hal yakni SDM, infrastruktur, tata kelola, anggaran, kebijakan, ekosistem penelitian dan inovasi, dan kesiapan dalam knowledge base economy. Terkait jumlah SDM iptek, Wenten mengungkapkan bahwa selama ini lembaga riset selalu menganggap adanya kekurangan SDM riset. “Selama ini kita selalu ribut saja bahwa jumlah peneliti di Indonesia itu kurang,” ujarnya.

Menurut Wenten, yang terpenting bukan jumlah SDM risetnya, namun kualitas lah yang utama. Ia mengibaratkan jika para periset menjadi ujung tombak terhadap kemajuan Indonesia, hal ini tidak berarti bahwa seluruh masyarakat harus menjadi periset, namun dengan jumlah periset yang ada saat ini dengan kualitas tinggi, akan mampu memecahkan segala persoalan IPTEK nasional.

Dalam hal tata kelola riset, kata Weten, sistem riset di Indonesia perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan. Saat ini para periset harus menjadi ASN, sehingga kondisinya periset harus mengikuti sistem yang telah ditetapkan, padahal seharusnya para periset inilah yang membuat sistem.

Infrastruktur juga menjadi hal yang penting dalam penyelenggaraan riset, tanpa adanya infrastruktur maka tidak akan dapat melakukan riset dengan baik. “Infrastruktur merupakan bagian penting dari riset, namun infrastruktur non fisik sangat vital,” tambahnya.

Ia mencontohkan, bentuk infrastruktur non fisik di antaranya networking atau jejaring sesama peneliti, group meeting, dan seminar ilmiah. Infrastruktur ini menjadi sarana bagi para peneliti untuk berbagi pengalaman dengan peneliti lainnya, serta mengembangkan dunia riset dalam memajukan iptek.

Terkait kebijakan pengembangan Iptek, menurut Wenten perlu mendapat perhatian khusus agar berpihak kepada peningkatan iptek di Indonesia. Kondisi anggaran riset di Indonesia juga relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

Selain itu, kondisi ekosistem penelitian inovasi, Wenten menganggap kondisinya belum baik dan perlu ditingkatkan kerja sama triple helix antara akademisi, dunia bisnis dan pemerintah. Belum lagi dalam hal kesiapan knowledge based economy di Indonesia juga masih rendah.

Untuk menjawab semua gambaran iptek Indonesia saat ini, tegas Wenten, maka diperlukan reformasi kelembagaan Iptek Nasional. Hal ini diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Melalui Undang-Undang tersebut pemerintah telah melakukan reformasi kelembagaan Iptek secara total. “Ini merupakan perubahan yang paling brutal atau bombastis, dimana semua LPNK dan Kementerian Riset bergabung menjadi BRIN,” ungkapnya.

Dia mengatakan, dalam melakukan rekonstruksi pola pengembangan Iptek yang bertujuan untuk menuju keunggulan ekonomi berbasis kekayaan intelektual, maka diperlukan langkah-langkah strategis. Langkah tersebut yakni mencermati dan menggali potensi yang ada, menentukan jalan perubahan sebagai langkah strategis bertransformasi, membangun budaya ilmiah yang unggul, dan merumuskan politik teknologi nasional.

Langkah mendesak yang perlu dilakukan BRIN dalam merekonstruksi pola pengembangan iptek nasional menurut Wenten terdiri dari tiga hal yakni menggandeng respected prominen, melakukan proyek strategis yang berdampak cepat pada kedaulatan pangan, dan meningkatkan reputasi internasional.

Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menyambut baik terhadap penyelenggaraan webinar yang bertajuk BRIEF. Melalui BRIEF ini, ia berharap para periset BRIN mendapatkan pengayaan terhadap kondisi Iptek Nasional saat ini.

“Saya berharap narasumber dapat memberikan pengayaan kepada teman-teman periset di BRIN, bagaimana membawa scientific explorationscientific innovation bisa menjadi invensi atau paten. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, kita tidak mungkin punya paten saja tanpa ada scientific approach, karena bukti saintifik itulah yang dapat menyakinkan mitra industri yang pada akhirnya dapat mendatangkan investasi,” pungkas Handoko.

Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), I Gede Wenten memberikan gambaran kondisi pola pengembangan Iptek di Indonesia. Menurutnya kondisi pola pengembangan Iptek di Indonesia saat ini tengah mengalami krisis, hal ini disampaikan pada Webinar BRIN Insight Every Friday (BRIEF) yang mengusung topik Pola Pengembangan Iptek Nasional, Jumat (22/07).

Dikatakan Wenten, bangsa Indonesia harus mampu melihat gambaran Iptek di Indonesia secara jujur dan mau menerima autokritik terhadap kondisi ekosistem inovasi nasional. Berdasarkan kondisi itulah, perlu adanya perubahan yang mendasar terhadap kondisi Iptek di Indonesia. “Kita harus melakukan perubahan yang mendasar sekali dan itu yang saya sebut dengan rekonstruksi pola pengembangan Iptek,” kata Wenten.

Selain itu, untuk melakukan perubahan yang mendasar terhadap kondisi Iptek, diperlukan lesson learn dari negara lain yang sudah sejak lama telah mengembangkan inovasi berbudaya ilmiah. Semua upaya tersebut harus disertai dengan langkah konkrit guna mewujudkan pola pengembangan Iptek Nasional yang baik.

Gambaran umum Iptek Nasional menurut Wenten dapat dilihat dari beberapa hal yakni SDM, infrastruktur, tata kelola, anggaran, kebijakan, ekosistem penelitian dan inovasi, dan kesiapan dalam knowledge base economy. Terkait jumlah SDM iptek, Wenten mengungkapkan bahwa selama ini lembaga riset selalu menganggap adanya kekurangan SDM riset. “Selama ini kita selalu ribut saja bahwa jumlah peneliti di Indonesia itu kurang,” ujarnya.

Menurut Wenten, yang terpenting bukan jumlah SDM risetnya, namun kualitas lah yang utama. Ia mengibaratkan jika para periset menjadi ujung tombak terhadap kemajuan Indonesia, hal ini tidak berarti bahwa seluruh masyarakat harus menjadi periset, namun dengan jumlah periset yang ada saat ini dengan kualitas tinggi, akan mampu memecahkan segala persoalan IPTEK nasional.

Dalam hal tata kelola riset, kata Weten, sistem riset di Indonesia perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan. Saat ini para periset harus menjadi ASN, sehingga kondisinya periset harus mengikuti sistem yang telah ditetapkan, padahal seharusnya para periset inilah yang membuat sistem.

Infrastruktur juga menjadi hal yang penting dalam penyelenggaraan riset, tanpa adanya infrastruktur maka tidak akan dapat melakukan riset dengan baik. “Infrastruktur merupakan bagian penting dari riset, namun infrastruktur non fisik sangat vital,” tambahnya.

Ia mencontohkan, bentuk infrastruktur non fisik di antaranya networking atau jejaring sesama peneliti, group meeting, dan seminar ilmiah. Infrastruktur ini menjadi sarana bagi para peneliti untuk berbagi pengalaman dengan peneliti lainnya, serta mengembangkan dunia riset dalam memajukan iptek.

Terkait kebijakan pengembangan Iptek, menurut Wenten perlu mendapat perhatian khusus agar berpihak kepada peningkatan iptek di Indonesia. Kondisi anggaran riset di Indonesia juga relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

Selain itu, kondisi ekosistem penelitian inovasi, Wenten menganggap kondisinya belum baik dan perlu ditingkatkan kerja sama triple helix antara akademisi, dunia bisnis dan pemerintah. Belum lagi dalam hal kesiapan knowledge based economy di Indonesia juga masih rendah.

Untuk menjawab semua gambaran iptek Indonesia saat ini, tegas Wenten, maka diperlukan reformasi kelembagaan Iptek Nasional. Hal ini diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Melalui Undang-Undang tersebut pemerintah telah melakukan reformasi kelembagaan Iptek secara total. “Ini merupakan perubahan yang paling brutal atau bombastis, dimana semua LPNK dan Kementerian Riset bergabung menjadi BRIN,” ungkapnya.

Dia mengatakan, dalam melakukan rekonstruksi pola pengembangan Iptek yang bertujuan untuk menuju keunggulan ekonomi berbasis kekayaan intelektual, maka diperlukan langkah-langkah strategis. Langkah tersebut yakni mencermati dan menggali potensi yang ada, menentukan jalan perubahan sebagai langkah strategis bertransformasi, membangun budaya ilmiah yang unggul, dan merumuskan politik teknologi nasional.

Langkah mendesak yang perlu dilakukan BRIN dalam merekonstruksi pola pengembangan iptek nasional menurut Wenten terdiri dari tiga hal yakni menggandeng respected prominen, melakukan proyek strategis yang berdampak cepat pada kedaulatan pangan, dan meningkatkan reputasi internasional.

Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menyambut baik terhadap penyelenggaraan webinar yang bertajuk BRIEF. Melalui BRIEF ini, ia berharap para periset BRIN mendapatkan pengayaan terhadap kondisi Iptek Nasional saat ini.

“Saya berharap narasumber dapat memberikan pengayaan kepada teman-teman periset di BRIN, bagaimana membawa scientific explorationscientific innovation bisa menjadi invensi atau paten. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, kita tidak mungkin punya paten saja tanpa ada scientific approach, karena bukti saintifik itulah yang dapat menyakinkan mitra industri yang pada akhirnya dapat mendatangkan investasi,” pungkas Handoko. [***]

Humas BRIN