Pingintau.id – Meski alami fluktuasi, tren indeks gini DKI Jakarta sejak Maret 2018 cenderung meningkat dan lebih tinggi dari nasional ini berarti kesejahteraan juga alami peningkatan.
Pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat dinilai dari banyak aspek seperti diantaranya meliputi aspek pendapatan, tingkat konsumsi rumah tangga, dan pola konsumsi masyarakat.
Pendapatan rumah tangga ini kemudian berkaitan dengan berbagai hal, salah satunya pengeluaran (household expenditure). Besarnya tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi dari rumah tangga tersebut yang setiap keluarga berbeda beda.
Pada 1857, salah satu terobosan besar di dunia ekonomi (dan matematika) terjadi. Saat itu, Ernst Engel, seorang statistikawan berkebangsaan Jerman mencetuskan Hukum Engel (Engel’s law). Menurut Engel, semakin miskin sebuah keluarga, semakin besar juga proporsi dari total pengeluaran yang harus digunakan untuk makan[1]. Singkatnya, peningkatan pendapatan per kapita akan menyebabkan penurunan proporsi pengeluaran konsumsi untuk makanan[2].
Menurut Ensiklopedia Britannica[3], kesimpulan tersebut berdasarkan studi yang ia lakukan kepada 153 keluarga asal Belgia. Studinya tersebut diverifikasi dan diamini oleh sejumlah penyelidikan statistik lainnya tentang perilaku konsumen hingga beberapa tahun setelahnya. Meskipun sudah dicetuskan lebih dari 150 tahun lalu, Hukum Engel hingga kini masih relevan.
Berbicara mengenai Hukum Engel tentunya tidak terlepas dari pengeluaran untuk konsumsi makanan. Di negara maju, persentase pengeluaran untuk makan biasanya berada di bawah 50%, sedangkan di negara berkembang, angkanya di atas 50%. Jika melihat DKI Jakarta sendiri, kondisi masyarakatnya sudah mengikuti pola pengeluaran seperti di negara maju, di mana sebagian besar porsi pengeluarannya dibelanjakan untuk kebutuhan selain makanan. Hal tersebut membuat Jakarta dapat diindikasikan memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Indonesia di provinsi lain.
Seperti disampaikan pada awal paragraf, pendapatan saja tidak cukup untuk menggambarkan keseluruhan kondisi kesejahteraan masyarakat. Ada hal lain seperti pemerataan distribusi pendapatan, gini rasio, dan kriteria Bank Dunia.
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Gini rasio merupakan indikator yang menujukkan tingkat ketimpangan pengeluaran secara menyeluruh. Angka indeks gini berkisar antara 0 yang berarti pemerataan sempurna hingga 1 yang artinya sangat tidak merata. Mudahnya, semakin angkanya mendekati 1, maka ketimpangan yang ada semakin besar. Sedangkan jika dijabarkan lebih detail, angka gini rasio yang melebihi 0,50 menggambarkan ketimpangan tinggi; 0,4 – 0,5 menggambarkan ketimpangan sedang, sedangkan di bawah 0,4 merupakan ketimpangan rendah.
Berdasarkan pada grafik di atas, dapat dilihat, setidaknya sejak Maret 2018 hingga 2022, angka indeks gini di DKI Jakarta alami tren peningkatan, hingga mencapai puncaknya pada Maret 2022. Menggunakan indikator di atas, setidaknya sejak September 2020, ketimpangan di DKI Jakarta dapat dikategorikan ketimpangan sedang. Naiknya ketimpangan ini disebabkan oleh tingginya kemampuan kelompok penduduk menengah atas memenuhi kebutuhan dan melakukan investasi.
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Ukuran ketimpangan berikutnya adalah persentase pendapatan pada kelompok penduduk 40% terbawah atau biasa disebut juga ukuran ketimpangan Bank Dunia. Ukuran ini ditentukan dari tiga kriteria: kelompok 40% bawah terdapat kurang dari 12% total penduduk, maka disebut tinggi; jika proporsi penduduk 40% terendah antara 12-17%, maka disebut sedang/menengah/moderat; sedangkan jika proporsi 30% terendah lebih dari 17%, maka dapat dikatakan ketimpangan rendah.
Grafik di atas menunjukkan, sejak Maret 2020 hingga 2022, ketimpangan di DKI Jakarta masih masuk ke dalam kategori sedang/menengah/moderat. Khususnya pada Maret 2021 dan 2021. Batang berwarna biru di atas menunjukkan, pada Maret 2021 kelompok 40% bawah ada di 16,65 dan pada Maret 2022 ada di 16,60. Dengan angka tersebut, dapat dikategorikan ketimpangan sedang/menengah/moderat.
Agar lebih memudahkan, seperti pada Maret 2022, kelompok 40% bawah atau bisa dikategorikan sebagai penduduk penghasilan rendah, memiliki angka 16,60. Artinya, penduduk penghasilan rendah di Jakarta, hanya menguasai sekitar 16,60% dari total seluruh pendapatan DKI Jakarta. Kelompok 40% menengah juga dapat dikategorikan sebagai penduduk penghasilan menengah, dan 20% atas merupakan kelompok penghasilan tinggi.
Pengeluaran per Kapita menurut Jenisnya
Pengeluaran per kapita dapat diartikan biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli. Data yang dikumpulkan adalah data pengeluaran seminggu atau sebulan yang lalu tergantung pada jenis pengeluarannya. Tepatnya, untuk makanan dinyatakan selama seminggu yang lalu, yang dihitung menjadi rata-rata untuk sebulan. Sedangkan untuk non makanan, meliputi pengeluaran sebulan yang lalu dan tiga bulan yang lalu, kemudian dihitung menjadi pengeluaran rata-rata selama sebulan.Statistik.jakarta
https://statistik.jakarta.go.id/penduduk-datang-dan-bermukim-di-dki-Jakarta-maret-2020/
BERANDA
PROFIL
DATA BICARA
DATA STATISTIK
PUBLIKASI
INFOGRAFIS
PENDUDUK MISKIN DKI JAKARTA
SEPTEMBER 2022 SEBESAR 494,93 RIBU
PENDUDUK PROVINSI DKI JAKARTA
HASIL SP2020 SEBESAR 10,56 JUTA JIWA
Enter your seach here…
EKONOMI
HOME EKONOMI
PASAR GLOBAL SEDANG TIDAK PASTI, EKSPOR JAKARTA NAIK TIPIS
JANUARI 16, 2023 113 VIEWS 0 0
Perlu Cari Solusi,
Ekspor Jakarta Naik Tipis
KetikPos.com – Kenaikan tipis ekspor DKI Jakarta secara month-to-month di November 2022, namunsayangnya tidak dibarengi dengan performa secara year-on-year yang menurun cukup dalam.
Memang, tahun 2022 merupakan tahun yang relatif berat bagi banyak negara di dunia.
Hal ini terjadi inflasi yang tinggi di beberapa negara, perang Rusia-Ukraina, krisis energi di beberapa negara, dan beberapa hal lainnya tentu saja berdampak baik secara langsung maupun tidak terhadap perekonomian dunia.
Kesemuanya itu i tentu saja memunculkan efek domino terhadap negara-negara lainnya. Ditambah lagi, Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup aktif dalam dunia perdagangan internasional.
DKI Jakarta, sebagai ibu kota negara, tentunya merupakan salah satu yang paling aktif dalam ekspor dibandingkan bulan sebelumnya dan menurun hingga hampir 5% dibandingkan November 2021. Menurunnya nilai ekspor di beberapa komoditas menjadi pemicunya.
Berdasarkan grafik di atas, pergerakan ekspor DKI Jakarta sejak Januari-November 2022 kurang lebih mirip dengan tahun sebelumnya. Angka ekspor pada November 2022 adalah FOB US$991,21 juta. Naik 0,23% secara month-to-month dan menurun 4,41% secara year-on-year.
Secara month-to-month, disrupsi pasokan yang meningkat akibat perlambatan ekonomi global memaksa harga komoditas global bertahan tinggi. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab ekspor DKI Jakarta masih bisa tumbuh.
Hal tersebut juga didorong oleh peningkatan ekspor non migas yang naik 0,24 persen. Sedangkan secara year-on-year, penurunan dipicu salah satunya oleh turunnya permintaan impor komoditas berbagai produk kimia dari beberapa negara seperti Korea, Thailand, dan India.
Jika dilihat dari sisi komoditas, tujuh dari sepuluh kategori komoditas utama alami peningkatan ekspor secara month-to-month. Peningkatan tertinggi dialami oleh mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya yang mencapai 18,13%. Sedangkan minus tertinggi ada pada komoditas lemak dan minyak hewan dengan penurunan hingga 34,09%.
Keempat komoditas yang terdapat pada grafik merupakan komoditas dengan nilai atau peran tertinggi terhadap total ekspor di DKI Jakarta.
Secara year-on-year, penurunan terjadi pada empat dari sepuluh kategori komoditas utama. Berbagai produk kimia menjadi komoditas dengan penurunan terbesar hingga 38,04%. Sedangkan kenaikan tertinggi sebesar 61,56% dialami kelompok komoditas ampas dan sisa industri makanan.
Tiongkok, Filipina, Malaysia, dan Singapura merupakan negara tujuan ekspor DKI Jakarta dengan share terbesar dari keseluruhan nilai. Baik secara month-to-month maupun year-on-year, Tiongkok alami penurunan nilai ekspor yang cukup besar dengan masing-masing 17,20% dan 16,46%. Mengingat total share Tiongkok yang mencapai hingga 14,71% dari total ekspor, tentunya penurunan tersebut cukup berpengaruh pada keseluruhan kinerja ekspor.
Sepuluh negara yang disebutkan dalam grafik di atas berkontribusi hingga 73,84% dari total ekspor DKI Jakarta. Dari kesepuluh negara di atas, penurunan terbesar secara month-to-month terjadi pada Tiongkok dan kenaikan terbesar dialami Thailand dengan 46,18%. Sedangkan secara year-on-year, penurunan terbesar yaitu 36,39% dialami Hong Kong dan kenaikan terbesar terjadi juga pada Thailand dengan 51,38%. Kenaikan tajam hingga dua kali lipat pada impor mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (290,73%) serta logam mulia dan perhiasan/permata (266,93%) menjadi penyebab utamanya.Statistik Jakarta (***)