Bisnis  

“Garuda Indonesia & Palembang – Antara Krisis Kursi Pesawat & Asa di Langit Sumsel”

KETIKA masyarakat Palembang hendak bepergian dengan Garuda Indonesia, sering kali yang lebih dulu terbang adalah rasa cemas, bukan pesawatnya. Kursi pesawat yang terbatas membuat tiket Garuda seolah jadi barang langka, kadang lebih susah dicari daripada pempek asli Palembang di luar negeri. Padahal, nama Garuda sudah lama melekat sebagai simbol kenyamanan dan kebanggaan penerbangan nasional.

Pertemuan Gubernur Sumatera Selatan, H. Herman Deru, dengan jajaran Direksi Garuda Indonesia di Griya Agung baru-baru ini menyiratkan satu pesan penting Palembang butuh lebih banyak penerbangan Garuda dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, bukan sekadar untuk gaya, tapi untuk menjawab kebutuhan nyata masyarakat yang ingin terbang dengan pelayanan yang prima.

Garuda Indonesia identik dengan kualitas layanan, namun, ketika jumlah penerbangan yang tersedia terlalu minim, prestise itu seakan hanya dinikmati segelintir orang yang beruntung mendapat kursi. Bagi masyarakat umum, apalagi saat ada acara besar atau musim libur, tiket Garuda Palembang- Jakarta bisa hilang secepat kedipan mata.

Jangan sampai Palembang, yang notabene kota besar, justru kalah dalam akses penerbangan dibanding kota lain yang lebih kecil. Sumsel adalah pintu gerbang Asia Tenggara bagian barat, punya sejarah emas, ekonomi berbasis energi dan perkebunan, serta kini kian sering menjadi tuan rumah event Nasional maupun Internasional, sudah sepatutnya fasilitas transportasi udara ikut menopang kebesaran itu.

Direktur Komersial Garuda Indonesia, Reza Aulia Hakim, menyebutkan Garuda siap memberi dukungan penerbangan menjelang Pekan Olahraga Nasional (Pornas) KORPRI XVII di Palembang. Ini tentu kabar baik. Ribuan atlet dan peserta akan hadir, dan Palembang tidak boleh dipandang sebelah mata dalam hal kesiapan transportasi.

Namun, jangan sampai momentum ini berhenti di event semata, penambahan penerbangan Garuda Indonesia di Palembang seharusnya menjadi agenda jangka panjang, bukan hanya solusi temporer ketika ada acara besar. Sama halnya dengan pepatah “Jangan pasang payung hanya ketika hujan, tapi siapkan sebelum langit mendung”

Dampak dari keterbatasan penerbangan Garuda bukan sekadar soal tiket mahal atau kursi yang cepat habis. Lebih jauh, ini soal citra daerah. Investor, pelancong, maupun pejabat yang datang akan menilai bagaimana akses transportasi udara tersedia. Ketika mereka kesulitan mendapatkan penerbangan Garuda, maka yang tercoreng bukan hanya maskapai, tapi juga wajah Sumsel sebagai destinasi bisnis dan wisata.

Palembang punya potensi besar di sektor pariwisata, dari Jembatan Ampera yang legendaris, kuliner pempek yang mendunia, hingga arena olahraga kelas internasional di Jakabaring Sport City. Semua itu akan makin hidup jika ada dukungan penerbangan yang memadai.

Ada baiknya Garuda Indonesia mempertimbangkan penambahan jadwal reguler dari dan menuju Palembang, terutama rute vital, seperti Palembang- Jakarta, Palembang-Medan, atau bahkan koneksi internasional terbatas. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi merasa penerbangan Garuda hanyalah “kemewahan musiman”.

Bagi Pemerintah Daerah, momentum audiensi ini seharusnya tidak hanya berakhir di ruang pertemuan. Perlu ada tindak lanjut berupa kerja sama konkret, baik dalam bentuk insentif maupun kolaborasi promosi bersama. Misalnya, paket penerbangan yang digabung dengan promosi wisata daerah.

Kita percaya, Garuda Indonesia bukan sekadar maskapai, melainkan wajah bangsa di udara. Sudah saatnya wajah itu lebih sering hadir di langit Palembang, bukan sesekali lewat seperti tamu undangan. Kritik dari masyarakat dan permintaan Gubernur Herman Deru adalah bentuk cinta, bukan celaan, sebab, di balik semua keluhan, ada harapan agar Garuda lebih dekat dengan rakyat Sumsel.

Kalau kursi Garuda bisa lebih banyak tersedia, maka langit Sumatera Selatan akan semakin terbuka. Dan bukankah tugas Garuda adalah mengangkat tinggi-tinggi bukan hanya pesawatnya, tapi juga martabat negeri dan daerah?.[***]